Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Selasa, 12 April 2016

SPIRITUALITAS ALA SAIM Part II

Bagaimana kerapian sandal dan sepatu menjadi tema dalam belajar spiritual di SAIM?

Sandal dan sepatu yang tertata rapi menghadirkan kesan apik dan nyaman. Secara sederhana, pribadi-pribadi yang menyempatkan diri untuk menata sandal atau sepatu mereka, maka bisa dilihat karakter telaten, rapi, sadar lingkungan, dan memperhatikan keindahan. Sikap ini hadir bukan tiba-tiba, tetapi perlu belajar membiasakan diri secara terus menerus. Proses belajar menghadirkan kebiasaan yang baik ini selalu ada lika-liku perjuangannya.

Guru dan orangtua wajib untuk menjadi teladan dalam membangun kebiasaan yang baik. Naluri imitasi pada diri anak masih cukup mendominasi, terlebih di usia dini dan anak-anak. Jangan dikira di usia ABG dan remaja mereka juga tidak ingin meniru? Bedanya, ketika usia dini dan anak-anak peniruan dilakukan anak pada lingkungan terdekat dan pribadi-pribadi terdekat. Pada usia ABG dan remaja mereka memiliki tokoh-tokoh idola yang bakal menjadi cermin proses imitasi mereka.

Nah, sebelum mereka menemukan tokoh idola di luar rumah, tantangan bagi orangtua dan guru adalah mampu menjadi tokoh idola di sekitar mereka. Sehingga ketika masa ABG dan remaja mereka akan mengagumi orang lain; gaya bicara, berpakaian, hidup, dan lainnya tetapi masih bisa menggunakan akal sehat dan cerdasnya untuk memilih tokoh mana yang lebih baik.

Kembali ke masalah sandal; sandal dan sepatu hanya datu contoh kecil, kerapian loker, buku catatan, dan kerapian pakaian juga menjadi pembelajaran yang membutuhkan kebiasaan. Ini akan cukup sulit dilakukan bagi anak-anak yang memiliki fasilitas bantuan istimewa sejak kecil. Ada asisten rumah tangga, keluarga yang selalu khawatir akan kondisi anak-anak mereka, dan sikap memanjakan anak sebagai suatu hal yang tidak disadari sikap inilah yang MELEMAHKAN anak.

Masalah sandal dan sepatu kok ya jadi berat jika dikaitkan dengan spiritual ya? Lho lho … bagi orang yang senang belajar, ini bukan berat dan memberatkan. Malah akan menjadi tantangan untuk ditaklukkan. J



Bagaimana Setting Pembelajaran dengan Bermain Bisa Menjadi Dunia Spiritual?

Proses pembelajaran yang biasa terjadi dalam dunia pendidikan kita;
Guru mengucapkan salam, bertanya kabar hari ini, menulis di papan, meminta siswa mencatat, siswa diberi pertanyaan, siswa menjawab, siswa yang tidak bisa menjawab tidak dibimbing untuk menemukan jawaban, berdo’a selesai belajar, keluar kelas atau pulang.


Proses pembelajaran yang inovatif;
Guru datang dengan wajah riang, melihat dengan cermat keadaan emosi siswa, merespon dengan tepat, berolah peran sesuai kebutuhan anak, memulai pembelajaran dengan persoalan nyata, mengajak diskusi mencari solusi, memikirkan kemungkinan solusi lain, mengevaluasi proses, merancang proyek, member tantangan, menyelesaikan proses dengan kalimat:
“Kita tunggu hasil penelitian anak-anak hebat di kelas ini besok ya!”
Setting bermain mampu mengajarkan semua karakter dalam kondisi gembira. Misalnya, “Melajutkan Kata”.
Anak-anak berbaris sesuai urutan tinggi badan, kemudian mereka bergantian melanjutkan kata yang telah ditulis oleh teman sebelumnya. Hingga orang terakhir menulis kata penutup.

Permainan ini mengajarkan, bagaimana memberi kesempatan kepada orang lain. Pandai mengisi dan mewarnai ide orang lain menjadi sempurna. Bersabar menunggu giliran bermain dan mengikuti peraturan yang telah disepakati bersama.
Setiap permainan sesungguhnya mengajarkan segala sesuatu, guru dan murid butuh berdiskusi untuk memaknai setiap permainan dengan nilai-nilai kehidupan. Bermainlah dalam hidup, namun jangan permainkan kehidupan.


Dunia Spiritual di Ruang Makan

Makan adalah kebutuhan pokok manusia, kebutuhan pokok ini kalau tidak terpenuhi dalam diri anak, maka efeknya akan lebih dahsyat dari yang terjadi pada orang dewasa. Jika orang dewasa menyebut perilaku negatif hadir dari kebutuhan dasar, yaitu makan.
“Mengapa anda melakukan pencurian?”
“Karena saya terpaksa Pak, anak saya tidak makan”
“Mengapa anda melakukan perbuatan negatif ini?”
“Saya terhimpit ekonomi Pak?”

Dan berbagai macam kejahatan yang dilakukan manusia karena kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi. Dan anak-anak, jiwa yang murni jika mengalami persoalan ini maka bisa kita bayangkan, pendidikan masa keemasan akan mengalami proses yang terbelokkan oleh rasa lapar.

Oleh karena itu, menyiapkan bekal makanan untuk anak adalah WAJIB bagi orangtua. Jika orangtua tidak punya waktu, maka harus ada manajemen waktu yang baik atau diskusi yang menenangkan serta upaya yang bermakna untuk persoalan ini. Bekal sederhana yang dibawa akan sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental anak-anak kita. Jika jalan memberikan uang jajan harus kita lakukan, maka seyogianya ananda uang menjadi topik pembelajaran yang sangat baik.

Ketika jam makan siang, pelajaran dari ujung ke ujung sudah menanti anak-anak. Bagaimana mereka mengantri, menservice diri sendiri, makan dengan bersih dan teratur, serta menyempurnakan dengan mencuci piring-piring mereka. Sungguh pembelajaran karakter yang terintegrasi secara sempurna dalam satu kegiatan yang kita anggap sangat biasa. Di meja makan juga terjadi percakapan sederhana yang mampu menjadi moment katarsis bagi anak. Melepaskan cerita sederhana dan tertawa bersama. Sungguh spiritualitas yang alami dengan proses alami.



Dunia Spiritual Dalam Disiplin Diri

Seorang anak yang cukup sering terlambat masuk sekolah, apakah perlu dihukum?
Hmmm, hukuman fisik? Hukuman mental? Atau, hukuman sosial?
Hukuman fisik pasti meninggalkan luka luar dalam, rasa sakit dan rasa kesal. Hukuman mental? Waaah, ini malah akan dikenang sepanjang zaman. Hukuman sosial? Tunggu dulu, mungkinkah ini pilihan yang tepat?
Hukuman apapun yang diberikan kepada anak, pasti menyakitkan. Oleh karena itu, membangun kesadaran adalah hal pertama yang akan kita lakukan.
“Mengapa kamu terlambat hari ini?”
“Macet Ust Ustadzah”
“Berapa jarak rumah dan sekolah”
“Saat lancar, biasanya hanya 30 menit”
“Hmm, pukul berapa kamu ?”
“Aku tidak lihat jam Ust”
“Sholat Subuh kan?”
“Aku sudah minta dibangunkan”
Wajahnya sudah mulai bingung, kalimatnya terasa berat.
“ Oh, antri mandi sama adik?”
“Iya, dia lama sekali sarapan!”
“Jadi macetnya di rumah?”
“Iya Ustadzah”
“Baiklah, sepertinya kalau kamu melakukan banyak kebaikan akan cukup meringankan beban hatimu hari ini. Jadi, apa yang akan kamu lakukan agar kekurangan ibadah tadi pagi bisa sedikit seimbang?”
“Aku menata sandal di masjid ya Ust?”
“Baik, terima kasih ya”
“Tapi aku juga ingin menghafalkan surat As-Syams karena aku tidak sholat Subuh”
“Baiklah, terima kasih”

Terlambat masuk sekolah, mungkin hal yang biasa terjadi. Namun, komunikasi yang baik dan benar akan sangat mempengaruhi pandangan guru terhadap anak didik. Membangun kesadaran untuk memahami persoalan pribadi, menganalisa, dan membuat keputusan adalah kemampuan logika tingkat tinggi. Spiritualitas inilah yang sangat perlu dibangun secara sistematis pada usia anak.
Bersepatu mungkin hal yang sangat biasa, tetapi bersepatu adalah media pembelajaran kedisiplinan, tanggung jawab, ketelitian, dan kemandirian. Anak-anak yang terbiasa dilayani, akan mengalami sindrom ketidak pedulian, bahkan pada diri sendiri.

Jika kesalahan terulang berkali-kali, maka merumuskan tanggung jawab apa yang harus dilakukan anak, itu kunci kebijaksanaan. Mungkin, dalam tanggung jawab, anak akan memilih tanggung jawab fisik; naik turun tangga, keliling lapangan, dan lainnya. Di sisi mental, bisa saja anak memilih tidak masuk kelas dan membantu


Leadership Camp dan Spiritual 


Menjadi seorang pemimpin yang tangguh dan mampu mengemban amanah harus dilatih sejak dini. Membuat sebuah keputusan yang tepat juga membutuhkan proses dan seberapa banyak anak menghadapi masalah. Semakin banyak anak memiliki kesempatan untuk “bermasalah”, anak akan memiliki berbagai pilihan jalan untuk mencari solusi.

Leadership Camp didisain sebagai sebuah kegiatan tantangan kerjasama individu, kelompok kecil, dan kelompok besar. Menginap di sekolah merupakan sebuah training untuk membentuk jiwa kemandirian dan tanggung jawab. Berbagi tempat tidur, tantangan tepat waktu dan mengikuti semua kegiatan dengan semangat hingga akhir.

Kamar yang biasa ber-AC menjadi kamar dengan alas sleeping bag dan penuh dengan teman, satu kamar 20 anak. Hmm, pengalaman yang pastinya tidak akan terlupakan. Belum lagi nyamuk dan suasana gerah yang kadang membuat mata tidak lantas terpejam. Sekolah melatih diri anak dengan hal-hal yang kadang tidak terlintas dalam bayangan orangtua yang selalu menginginkan putra putrinya nyaman dan terlindungi.

Namun, ketahuilah ketidak nyamanan ini yang membuat otak kita aktif dan mengembara untuk mencari solusi terbaik dalam menghadapi hidup. Kondisi-kondisi yang tidak kita inginkan, adalah kondisi yang kita butuhkan. Untuk melatih diri, berempati, berdamai dengan keadaan, dan menciptakan ketahan diri secara alami.
Pemimpin yang tangguh tidak terlahir dalam kondisi aman, nyaman, dan segala sesutaunya terpenuhi. Pemimpin yang tangguh digembleng sedemikian rupa untuk mampu merasakan berbagai sisi kehidupan, sehinggan pemimpin peka terhadap sekitarnya dan mampu menemukan solusi dengan baik.


Outbound dan Spiritual

Hidup jauh orangtua dalam usia anak mungkin tidak pernah terbayang dalam benak anak-anak yang terbiasa hidup dengan nyaman dan penuh kasih sayang orangtua. Diajak masuk keluar hutan, bekerja sama di alam terbuka dan menghadapi tantangan alam. Hujan yang tidak terprediksi, panas yang kadang tak cukup bersahabat. Semua pengalaman itu menjadikan anak-anak mengenal diri dan Tuhannya, melalui perjalanan yang terlihat biasa namun terasa istimewa.

Menangis karena ingin pulang, entah karena tidak nyaman atau rindu kasih ayah dan bunda. Tertawa bahagia dan bangga melihat diri mampu menjalani ujian dunia, sungguh kebahagiaan mereka tidak sebanding dengan kebahagiaan para ustadz/ustadzah dan mama/papa yang bangga dengan kekuatan hati dan pikiran anak-anaknya.
Memilih tema dalam Leadership Camp dan outbound ini melalui sebuah rute perjalanan dalam satu tahun, memilih dan memilah kompetensi apa yang masih perlu ditingkatkan oleh anak-anak. Integrasi proses pembelajaran terwujud dalam disain kegiatan, tempat baru, suasana baru, pengalaman yang selalu baru.

Pemilihan tempat, persiapan yang tidak asal jadi, dan semua diperhitungkan dengan resiko-resiko yang kira-kira. Lahirnya generasi yang memahami diri, Tuhan, dan sekitarnya menjadi sesuatu yang nyata, Insha Alloh! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar