Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Rabu, 23 Januari 2013

PERJALANAN BUKU KLK


ANTI BIROKRASI YANG SANGAT NASIONALIS




Bertemu dengan seorang musisi kondang Mas Slamet A. Sjukur adalah sebuah anugerah. Kami dipertemukan beliau dalam sebuah gambaran pendidikan yang berkualitas. Saya sebut demikian, karena beliau mendengar cerita Sekolah Alam dari Pak Martasi dan langsung ingin dating berkunjung. Kerinduan pada sebuah suasana pendidikan yang asri, akrab, dan penuh persahabatan ditemukan di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.
Kedatangan beliau pertama melahirkan banyak pertanyaan yang bisa dijadikan sebagai bukti “Kehausan Ilmu” meski beliau sudah melanglang buana ke beberapa Negara. Sikap nasionalisme yang tertanam dalam diri Mas Slamet membuat beliau ingin menyelamatkan bangsa ini dari system yang mbulet dan kadang “tidak masuk akal”.
Hadiah kecil buku Kelasku Laboratorium Kehidupan, membuat beliau terkesan dengan isi yang sederhana namun menggambarkan suasana yang begitu bersahaja. Sebagai penulis, saya bangga mendengar tanggapan beliau. Di sisi lain, saya harus berusaha untuk melanjutkan sekuel buku KLK episode selanjutnya.
Bertandang ke kediaman mas Slamet PASTI akan banyak ilmu yang kami dapatkan. Duo Kanjeng (Saya dan Wuri) siap berguru dan berbagi cerita. Hujan tidak hadir kemarin, membuat kami segera menemukan alamat yang diberikan.
Rumah di tengah kota, bertetangga yang cukup padat, gang kecil, membuat saya pribadi berpikir bahwa Mas Slamet PASTI memiliki sisi kepribadian unggul. Ketika kami agak bingung dengan parker sepeda motor, seorang ibu datang dan mempersilakan untuk parker di depan rumah beliau.selanjutnya si ibu mengarahkan kami ke rumah mas Slamet, “Lurus saja sampai ujung mbak, nanti di atas pintu itu ada belnya. Pak Slamet piano kan?”. “Iya Bu, matur suwun”, aku menjawab si Ibu baik hati.
Kami mengamati bel yang dikatakan si Ibu. Ada beberapa tulisan “BEL” untuk memberi informasi kepada siapa saja yang ingin bertamu. Aku memegang tali bel dan kutarik. Pada tarikan ketiga aku mendengar langkah kaki mendekati pintu.
Wajah bijak itu muncul, “Oh, Mbak Hamdiya… ayo masuk”. Aku segera mencium aroma klasik dan menemukan beberapa benda yang tidak bisa kuhitung berapa lama benda-benda itu ada di sana. Buku-buku yang sampulnya sudah mulai memerah. Jam bandul yang sangat elegan, dan piano akustik besar. Ya! Dengan piano itulah Mas Slamet berdiskusi setiap saat.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Pertama kali bertemu dengan beliau aku merasakan energy yang luar biasa. Semangat pantang menyerah dan “Inilah Saya” begitu kuatnya. Apakah karena beliau juga cacat kaki seperti abahku yang membuatku merasa begitu dekat. Atau bahkan pancaran semangat itu yang selalu kukenal dari Abahku. Bahagia dan selalu ingin berbagi cerita.
Setelah kami duduk, aku langsung diberi beberapa lembar kertas. Lembar pertama berisi fotokopi tulisan opini Mas Slamet tentang pendidikan. Satu bendel lagi tentang partitur pementasan music dengan alat kentongan atau alat yang terbuat dari bambu.
Pembicaraan kami mengalir sangat lancar. Mulai dari pengalaman kami masing-masing. Kami berlima, Mas Slamet, Mbak Gema, Wuri, aku, dan Mas …. (maaf aku lupa namanya), padahal nama ini disebut berkali-kali, entah … aku bisa lupa.
Pribadi yang luar biasa, kuat, dan idealis. Itu gambaran yang kulihat pada setiap kalimatnya. Beliau menghafal hampir seluruh isi buku Kelasku Laboratorium Kehidupan itu diluar dugaan. Beliau membeli 8 eksemplar buku dari Toga Mas Diponegoro. I am speechless. Memandang kagum semangat dan impian akan sebuah iklim pendidikan yang luar biasa.
Disela diskusi kami melakukan praktek sebuah karya pementasan beliau yang bertajuk “100 ABG BABU”. Karya besar seorang musisi besar bisa kami nikmati secara gratis. Kami praktek melakukan tepukan dengan panduan partitur yang diciptakan beliau. Naskah pementasan spektakuler yang sudah pernah dilakukan di Jakarta. Dan kami, DUO KANJENG akan melakukannya di “negeri” kami.
Adzan maghrib terdengar, kami harus segera mengakhiri diskusi kami. Semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dengan semangat yang lebih baik lagi untuk mempersembahkan karya terbaik.
Sampai jumpa lagi J

Jumat, 18 Januari 2013


SEPENGGAL PELAJARAN DARI MURIDKU SAAT PROYEK PRESENTASI PROFESI ORTU

Setelah 3 kali tahap presentasi profesi orang tua, akhirnya tuntas juga proyek ini. Aku menemukan banyak anak-anak yang sungguh luar biasa kemampuan presentasinya. Properti, seragam, dan benda yang berhubungan dengan profesi orang tuanya dibawa ke sekolah.
Ada juga yang berinisiatif membuat power point. Itu lebih mencengangkan ketika ada anak yang membuat materi power pointnya memukau dengan penjelasan yang sangat detail. Bahasa anak-anak yang polos membuat presentasinya semakin menarik.
Aku menemukan keberanian-keberanian yang terhalang oleh rasa malu, was-was, takut salah, dan takut tidak diperhatikan. Aku menemukan kalimat-kalimat pujian memukau untuk mama-papa mereka. Aku menemukan raut wajah sedih, senang, bangga, sekaligus wajah absurd saat anak-anak melakukan presentasi.
Tentu saja guru harus ambil tindakan suara tegas untuk mengkondisikan forum untuk belajar menghargai dan menghormati para pembicara. Ada ice breaking untuk merangkai semangat kembali. Ada cerita lucu untuk membuat mereka tidak tegang. Aku temukan semua keajaiban itu dalam tiga hari bersama mereka.
Saat menunggu murid-murid datang di depan pintu gerbang, seorang murid lelakiku datang. Ia  berusaha menghafalkan materi presentasinya. Dia mendekatiku dan mencari ketenangan dan keyakinannya. Aku hanya berusaha untuk tidak mengerti keresahan itu.
Murid istimewaku yang terbiasa di luar kelas, kali ini presentasi dengan bahasa Inggris. Semua anak bertepuk tangan tanpa diminta.
Saat persiapan presentasi, seorang murid berbahasa asingku mendekat. Dia tidak mau aku mengabadikan moment tantangan presentasi pertamanya. Tangannya yang dingin, wajah yang sedari tadi terlihat hawatir, menarik nafas berkali-kali berusaha menenangkan diri. Aku berdiri di sampingnya, dia sedikit terasa bersandar. Aku berkelakar untuk menenangkannya.
“Oke, aku akan menterjemahkan presentasi Didi dengan bahasa Arab”.
Dia tersenyum renyah, anak-anak yang lain tertawa kemudian meminta. “Bahasa Jawa saja Ust?”
“Baiklah, aku akan menterjemahkan presentasi Didi dengan bahasa Jawa”
Sandaran Didi sudah terasa lebih longgar, berarti dia sudah lebih santai. Aku mengawali ucapan salam, dan Didi melanjutkan. “Assalamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh”. Semua teman terdiam.
Power point sudah menanti penjelasan.
Kata demi kata diucapkan dengan sangat indah dalam bahasa Inggris. Aksen Australianya yang sangat kental, membuatku terpukau. Ini kali pertamanya bicara hampir 5 menit di depan public. Luar biasa!!!
Seusai presentasi, dia terlihat sangat lega. Suaranya hampir terdengar seharian kali ini. Candaan temannya juga membuatnya penasaran dan ingin mengetahui hal yang disebut “rahasia” oleh temannya.
Alhamdulillah, luar biasa efek yang dilahirkan dari kegiatan ini. Berikutnya kami mengevaluasi kegiatan. Aku segera memberi pertanyaan.

Bagaimana pendapat kalian tentang kegiatan Presentasi kita?
1. Masih banyak anak yang tidak memakai baju/seragam orang tuanya.
2. Seharusnya presentasi bisa selesai dalam 2 hari, tapi karena ada yang tidak masuk maka jadi 3 hari deh.
3. Menurutku, selalu ada pertanyaan yang sama.
4. Masih ada yang tidak PD, aku sebenernya jg tidak tapi akhirnya biasa saja.
5. Ada yang sudah membawa property, tapi menurutku mereka belum menggunakannya dengan baik.
6. Ini kan presentasi tentang orang tua kita, tapi aku lihat masih ada yang kurang yakin dengan presentasinya.
7. Jangan bergantung pada catatan kita. Biar jawaban kita bisa lebih luas.
Dan masih banyak lagi evaluasi yang keluar dari ucapan-ucapan mereka
Aku melanjutkan ke pertanyaan kedua.
“Menurut kalian, manfaat apa saja yang sudah kalian dapatkan selama proses mengerjakan proyek ini?
1.       Belajar berani berbicara di depan umum
2.       Belajar menjadi pendengar yang baik
3.       Harus bisa mengukur volume suara saat presentasi
4.       Mengenal ayah dan ibu lebih dekat
5.       Aku jadi mengenal betapa papa itu berjuang keras untuk anak-anaknya dan mama
6.        Lebih menghargai orang tua dan merasakan menjadi mereka
7.       Harus bersyukur karena papa dan mama selalu menyayangi kita
Banyak lagi pendapat yang tidak bisa kutulis satu persatu. Evaluasi kami akhiri karena jam ektrakurikuler  sudah dimulai.
Aku bangga pada kalian murid-muridku!!!
Dan aku belajar dari kalian.
Saat hari dimana kusebut sibuk atau lapang, semoga Allah SWT selalu menggelitikku agar mampu berdo'a untuk kedua orang tua dan keluargaku.
Saat hari dimana aku dibutuhkan, aku semoga Allah SWT mengirimkan seluruh kebaikan dan memberiku kemampuan untuk menyebarkannya.
Saat orang mempercayaiku, semoga Allah SWT memberiku kekuatan Iman dan Islam untuk membuktikan bahwa gelar Rasulullah Muhammad SAW "Al-Amin" adalah utama bagi setiap insan.
Saat dimana aku menjadi orang yang dikenal banyak orang, semoga Allah SWT masih menjadikan aku sebagai orang yang peduli.
Saat hari dimana aku menjadi orang yang memiliki banyak harta, semoga Allah SWT menyiram hatiku untuk mendahulukan berbagi.
Saat dimana aku menjadi orang dengan jadwal padat, semoga Allah SWT menjaga hati dan pikranku untuk tetap melakukan silaturahmi dengan banyak orang.


Amin Ya Rabbal Alamin …

Minggu, 06 Januari 2013

BERPIKIR POSITIF DI NEGERI NEGATIF


(Kali ini mencoba nulis serius  )

Berbagi kebahagiaan dengan orang lain adalah perbuatan yang mulia. Memberi santunan kepada fakir miskin adalah anjuran agama. Bersedekah dan beramal adalah wujud rasa syukur yang sebaiknya hanya antara hamba dan Tuhannya.Di negeri ini banyak orang yang berniat baik dan sudah mewujudkan kebaikan itu. Namun, segala niat baik itu akhirnya berwujud antrian sangat panjang, berdesakan, terinjak-injak, pingsan, bahkan kehilangan nyawa para penerima kebaikan tersebut.
Mari kita lihat kembali beberapa kejadian yang ditayangkan di televisi maupun yang dimuat hampir di semua surat kabar di negeri ini. Pelaksanaan pembagian zakat, pembagian hewan qurban, hingga acara Open House dengan Presiden telah melahirkan realita yang memilukan. Terlepas dari sisi politik yang kadang dibahas secara detail di media elektronik, telah menjadikan moment-moment tersebut melenceng dari niat baiknya. Akhirnya, yang terlihat adalah betapa banyaknya warga Negara ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Atau bahkan yang sangat disayangkan adalah budaya menadahkan tangan akhirnya terjadi setiap tahun.
Bagaimana kalau pemandangan itu kita minimalisir dengan mengubah cara pandang kita? Dengan berlogika terbalik bahwa kondisi “miskin” yang dirasakan setiap orang sebagai kondisi yang selalu kekurangan, dirubah cara pandangnya menjadi kondisi yang terhormat dan bermartabat? Dengan demikian, si kaya akan benar-benar memuliakan si miskin dengan mengulurkan tangan kanannya untuk memberi tanpa diketahui oleh tangan kirinya. Begitu pula si miskin, akan merasa dimuliakan, karena kondisi kemiskinannya tidak membuatnya harus menadahkan tangan.
Saya berpikir, ketika membaca spanduk yang dipasang di jalan-jalan dengan kalimat kurang lebih bermaksud seperti ini: “Memberi uang kepada anak jalanan, pengamen, dan sejenisnya berarti membantu kemiskinan di negeri ini”. Atau dengan kalimat singkat: ”Anda memberi, menyuburkan kemalasan”. Bagi saya, spanduk yang dipasang itu sebenarnya bukan sekedar larangan atau sekedar himbauan. Menurut saya, spanduk itu mengajarkan banyak hal diantaranya: Jangan bangga menjadi pengangguran, berusahalah untuk memperbaiki kehidupan, hargailah diri dengan prestasi, dan sampaikanlah kebaikanmu pada tempat dan kondisi yang benar. Dengan berlogika terbalik, buatlah spanduk dengan tulisan: “Gemah ripah loh jinawi, hasil karya setiap warga di negeri ini”. Amin …
Berlogika terbalik dalam kondisi kekurangan, sama halnya dengan melatih sikap positif dalam setiap hal dan kondisi. Jika hidup membutuhkan kebiasaan, maka biasakanlah diri bersikap positif. Karena sikap itu yang akan memberikan rasa tangguh dalam menghadapi segala kondisi. Sehingga ketika seseorang sedang berada pada posisi si kaya, ia akan membiasakan dirinya tangguh dalam kekayaan dan tidak akan sulit baginya untuk berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain. Dan suatu ketika saat berada dalam posisi si miskin, ia akan membiasakan dirinya tangguh bekerja keras untuk tidak terpuruk pada kondisi ini. Berpikir positif menjadikan orang cerdas dalam mencari jawaban atas peristiwa yang dialami.
Hampir sempurna pelajaran menjadi warga yang merasa “kurang” di Negeri kaya ini. Bayangkan saja, dari masa penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang ingin mengambil kekayaan segala sumber daya di negeri tercinta ini. Kemudian dilanjutkan dengan perpecahan di negeri sendiri dengan beragam sebab. Misalnya; keinginan suatu daerah lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), merasa tidak cocok dengan Pemimpin, akhirnya “memberontak” bahkan sampai “menggulingkan” kekuasaan, dan lainnya. Yang tidak ditolak adalah ketika Tuhan member pelajaran kepada kita dengan menunjukkan feomena alam yang berwujud “bencana” yang sudah rata dialami semua provinsi di Negara kita. Masih kurangkah pelajaran tersebut?
Setelah melihat ulang kejadian yang memilukan, kita coba pelajari beberapa peristiwa yang adem-ayem saat niat baik berbagi rezeki itu terjadi. Ketika sebuah daerah mengalami bencana alam, mereka harus kehilangan harta benda dan kehilangan keluarga.  Kemudian di saat yang sama mereka harus memilih meninggalkan harta benda untuk menyelematkan diri dan bertahan hidup dalam pengungsian.
Perasaan senasib sepenanggungan pada setiap jiwa, ternyata melahirkan keeratan hati. Sebagai wujud yang indah terciptalah kerja sama, jiwa saling menolong, saling melindungi, dan kepedulian banyak pihak menjadi pemandangan yang sungguh menyentuh. Para dokter rela meninggalkan tempat nyamannya untuk bersama-sama memberikan manfaat. Jiwa-jiwa relawan muncul dan memberikan pelayanan terbaik kepada para korban. Dan masih banyak lagi kebaikan yang terlahir dalam kondisi tersebut; penggalangan dana yang dilaksanakan hampir semua elemen masyarakat. Sepertinya “perasaan senasib sepenanggungan” menjadi kunci bahwa rasa “miskin” itu menjadi tiada.
Pada peristiwa lain kita juga bisa kita pelajari (maaf sedikit berpolitik). Ketika masa pemilihan pemimpin, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/ kota madya, provinsi, sampai Negara ada istilah “serangan fajar” muncul mewarnai panggung kehidupan tersebut. Dari sisi positif, para calon pemimpin tersebut ingin berterimakasih kepada para pendukungnya yang bersedia mempercayakan tampuk kepemimpinan tersebut di pundaknya. Hasilnya, saat penyaluran niat baik itu tidak perlu antrian panjang dan tidak menyebabkan adanya korban terinjak-injak apalagi kematian. Mungkin karena sikap menghargai yang diciptakan oleh calon pemimpin tersebut, dengan memberikan bantuan secara sembunyi-sembunyi itulah yang meminimalisir korban. Jika ada masalah yang muncul, lebih ke pertanggung jawaban individu bukan?
Dari beberapa peristiwa tersebut, ada baiknya cara penyaluran zakat dan daging kurban atau semacamnya ditinjau kembali cara penyalurannya. Yang saya ketahui dengan cara orang desa, mereka membuat kepanitiaan yang bertugas mengurus dari awal hingga penyalurannya ke rumah warga yang diantarkan secara langsung. Sistem kedua yang saya pelajari selama menjadi panitia penyaluran zakat dan semacamnya di sebuah lembaga pendidikan di Surabaya, panitia yang terdiri dari guru dan murid tiga hari sebelum pelaksanaan kami menjelajah area untuk membagi kupon kepada yang berhak menerima. Saat pelaksanaan kami sudah perhitungkan waktu dan jumlah kupon yang disebar agar tidak terjadi antrian panjang. Alhamdulillah, dengan cara ini kami sukses selama Sebelas tahun sampai saat ini.
Mungkin saya terlalu sederhana mencontohkan dengan skala pengalaman di atas. Saya berpikir, ketika penyaluran itu akan dilaksanakan (tanpa mengetahui realitas yang sesungguhnya) dalam lingkungan yang lebih luas, maka kepanitiaan yang professional dan memadai, perhitungan waktu dengan kuota yang dipastikan, serta adanya kerja sama yang baik dalam lingkungan tempat tinggal, maka antrian panjang dan pemandangan memilukan tidak akan terlihat lagi. Istimewa, jika panitia tersebut bisa mengantarkan langsung di tempat tinggal penerima sedekah. Semoga Jakarta dan kota besar lainnya berlogika terbalik dengan peristiwa ini. Wujudkan bersama!