Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Jumat, 29 November 2013

I am in A Bad Mood

Setiap kali aku ingin pulang lebih cepat seusai berkolaburasi dengan anak-anak di kelas, aku hampir belum pernah berhasil. Adaaa saja yang membuat langkahku terhenti.
Terkadang aku harus memilih pulang terlebih dahulu, jika memang kondisi mengharuskan aku pulang lebih cepat.
Ada anak yang dijemput terlambat, ada yang mengajak main, atau sekedar ingin berbicara.
Hmmm, sebenarnya si, menurut pikiran dewasaku itu "gak penting-penting" amat sih. Bagaimana penting menurut orang dewasa, mereka hanya ingin cerita tentang hewan peliharaan, film kartun baru, atau bahkan sekedar ingin ditemeni tanpa harus bercerita.
Seperti sore ini. Aku sudah siap mengayuh sepeda ontel merah-putihku. Hampir melewati pintu gerbang, seorang siswa laki-laki kelas 10 nyamperin.
"Miss, anter aku pulang yuk"
Sambil tersenyum aku menjawab,
"Ya, seharusnya kamu yang anter aku pulang"
Dia naik diatas sepeda Merah-Putihku, dan bicara tentang kendaraannya.
Aku hanya berusaha bincang sederhana, mengapa dia belum pulang, dan apa saja yang sudah dilakukan hari ini.
Akhirnya dia mengikutiku keluar pagar sekolah.
Setelah hampir melintasi gerobak tukang bakso, sekumpulan anak muda (mereka menyebut diri mereka sendiri), anak SMA kelas 11 menyapaku.
"Hallo Nyonya Besar?"
Spontan aku tertawa, "Wah, nyonya besar", adaaa saja.
Kupanggil salah satu nama dari mereka, akhirnya dia datang.
"Miss, I am in a bad mood today"
"Hmm, emang kamu ada masalah apa?"
"ENggak sih, hanya kemarin aku jatuh dari motor dan efeknya gak tau sampai sekarang"
Dengan wajah terlihat sedikit murung, dia menyalamiku.
"Hmmm, kamu pengen minum tah?"
Aku berusaha menawarkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan.
"Aku sudah punya minum", dia menjawab lesu
Akhirnya aku duduk di warung, membeli sebotol minuman ketika Adzan terdengar.
Ternyata dia mengambil minumannya dan duduk di sebelahku
"Ada apa sih? Kacau banget tu muka!"
Aku mencoba membuatnya seperti teman.
"ENggak tau, mungkin karena kemarin jatuh"
Dia tetap menjawab dengan jawaban yang sama.
Seorang temannya muncul di hadapanku dan bersaliman.
"Adzan sudah terdengar, kita sholat yuuuk"
Aku mengajak mereka yang sedang asyik menikmati es jeruk.
Tak kuduga mereka menjawab, "Yuuuk"
Akhirnya aku ambil mukenaku di dalam tas dan kulangkahkan kaki kembali masuk gerbang.
Mereka mengikutiku. Aku sangat bahagia, karena tidak semua anak seusia mereka kelas 10 dan 11 kawan!
"Yuk, siapa yang akan jadi Imam?"
"Aku Miss", salah seorang dari mereka iqamah dan akhirnya kami berjama'ah.
Aku sangat bersyukur meski kepulanganku sangat terlambat.
Karena pada waktu inilah, mereka butuh teman. Meski kadang ada yang nyeletuk.
"Aku ini gak pengen curhat, tapi aku juga seneng kalau bisa bicara dengan Miss Hem"
Aku hanya tertawa. Akhirnya aku menjawab
"Ya, gak perlu curhat lah ke aku. Ngobrol biasa aja!", hehehehe ... (Ya, sama aja :))"
Aku sangat menikmati waktu bersama mereka. Alhamdulillah, Play Group, TK, SD, SMP, SMA ... Mereka sangatlah berbeda.
Hanya satu yang sama ketika mereka berhadapan dengan "guru".
Mereka anak-anak dan senang kalau didengarkan.
Love you all Guys! Kalian semua selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali ;-)

Minggu, 24 November 2013

GURU Pengemban Amanah Jiwa, Bukan Sekedar Raga Tak Ber-Asa.

We Sing For You at NET.tv malam ini membuat saya tergetar.
Antara bangga, menyadari betapa banyak kesalahan, semakin banyak yang harus diperbaiki, dan benar-benar harus lebih banyak belajar untuk menjadi guru yang menginspirasi.
Tema yang mereka hadirkan adalah GURU.
Mereka memberikan apresiasi kepada guru di Sekolah Alam Tunas Mulia. Sekolah anak-anak pemulung, dimana mereka harus dibujuk dan disadarkan agar merasa butuh dengan pendidikan.
Orang tua pemulung, tidak menginginkan anak-anak mereka kelak menjadi pemulung!
Acara didisain sangat bagus.
Menghadirkan tiga alumni yang sekarang sudah menikmati bangku kuliah di Universitas Jayabaya.
Para guru itu dibayar tanpa standar UMR, apalagi slip gaji tunjangan.
Yang membuatku bangga, karena tim kreatif mereka semua anak-anak muda.
Mereka adalah pribadi-pribadi yang belajar berterimakasih dan menghargai.


Kita jadi bisa, menulis dan membaca, karena siapa ....
Kita jadi tahu, beraneka bidang ilmu, dari siapa ...
Kita jadi pandai, dibimbing Pak Guru
Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru
Guru bak pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara ........

Bait lagu ini, terasa seperti cermin terbesar yang menghadirkan pertanyaan kepada saya.
Apakah benar saya sudah layak disebut guru?
Sudah yakinkah, bahwa jalan guru ini adalah jalan ibadah saya?
Dan, sudahkah saya berikan yang benar kepada murid-murid saya?

Guru tidak sekedar membacakan ulang informasi!
Guru tidak sekedar meminta murid melakukan tugas!
Guru tidak sekedar punya hak mengajari!
Guru tidak sekedar punya hak menghakimi!

Dan guru, bukan sekedar pribadi yang ikut test dan diterima di sebuah instansi pendidikan yang bertugas untuk menemani. Siapapun bisa menjadi guru. Dan menjadi pribadi yang DIGUGU dan DITIRU butuh mengamalkan ilmu.

Di Sekolah Alam Tunas Mulia, seorang kakak kelas yang sedang duduk di bangku SMA, ikhlas menjadi guru bagi adik-adik kelasnya. Ketika ia ditanya, mengapa ia mau memilih membimbing adik-adiknya, ia menjawab:
"Saya anak pemulung, dan saya ingin kami semua tidak jadi pemulung. Kami ingin menikmati belajar di jenjang yang lebih tinggi dan menggapai cita-cita kami"

Seorang guru ditanya, mengapa Ibu memilih menjadi guru di sini. Beliau menjawab:
"Mereka adalah anak-anak yang tidak sekedar butuh diajari. Kami juga memberi mereka KASIH SAYANG dan KETULUSAN MENDIDIK kepada mereka.

Saya terdiam, melihat kembali ke cermin terbesar. Dan jawabannya adalah,
"Aku belum punya kepribadian itu. Masih jauuuuuuh... "

Membayangkan diri mampu seperti cerita di syair lagu JASAMU GURU
Guru Bak PELITA, PENERANG dan gulita
Jasamu tiada tara ...

Presiden, tentara, dokter, pengacara, dan semua ... mereka pernah bersekolah.
Pertanyaan dua sisi mata pedang selalu hadir ....
Jika mereka mampu amanah, itu kebahagiaan tiara tara ...
Jika mereka berbalik arah? Siapakah yang salah?
Astaghfirullahal Adhim ...

Terima kasih kepada para orang tua wali murid yang percaya kepada kami para guru.
Anda semua juga lebih dari guru. Bahasa kalbu, bahasa cinta, bahasa kasih, bahasa sayang anda semua ...
Yang mampu menghadirkan kehangatan dan kecerdasan. Kearifan dan kebijaksanaan, kesholehan dan jalan lurus
Kami para guru akan menjadi teman dan saudara untuk bapak dan ibu

Untuk semua saudara, sahabat, teman seperjuangan dalam mengemban amanah GURU.
Mari bersyukur dan berbangga ... Bahwa kita bukan sekedar agen perubahan.
Kita adalah PELITA KEHIDUPAN

Mari tingkatkan kepribadian DIGUGU dan DITIRU
Mari saling BERLOMBA DALAM KEBAIKAN
Mari jadikan amanah adalah ibadah

Allah SWT Maha Kuasa atas Segala Sesuatu
Kita tidak akan pernah kekurangan
Kita tidak akan pernah terabaikan
Karena kita mengemban amanah belajar bersama JIWA
Bukan hanya raga tak berasa.

Kamis, 07 November 2013

STUDENT ORIENTATION GATE




The first time I was trusted to be the first grade teacher, I needed to conquer the second to forth grade laboratory as well as the middle school level.  The biggest preparation that I had to make was to prepare my own heart.  I needed to empty my heart from all the pride of my past experience as a teacher.  I knew that I was going to learn a lot about patience, understanding children’s language to express their needs and desire, and dealing with problems through their eyes.   
Student orientation was the first gate to get to know my new students. When I guided my new laboratory crew to line up in the school yard, I saw a long-haired child, but this child was standing in the boy’s line, so I approached the child from behind. 
“Hey, girls should move to the girl’s line, okay?” I said to this child. 
But what happened was, he cried and screamed.  I was confused, have I done anything wrong? I thought.  My partner came near me. 
“This child is a boy,” he whispered. 
 “Excuse me?” I couldn’t say a word because I was surprised and felt really guilty.  I decided to come to him, hold him, and apologize to him. 
 “I am sorry, I didn’t know.”  He still cried, hmm … what am I going to do?
My partner tried to help, but we didn’t succeed.  Then a father came to approach us. 
 “Is everything alright, teacher?” he asked. 
“I am sorry, Sir, I didn’t know that he’s a boy.” I replied
“Oh, it’s alright, Teacher, let me calm him down, I’m his father.”  I just nodded, the father picked up the long-haired boy and went out of the line. 
“Hmm … the father also has very long hair.”

Astaghfirullahal Adzim, what was I thinking? I couldn’t calm the boy and here I was, thinking about his father’s hair.  So, I immediately returned to the students’ line and carefully examined each student, so I would not make another mistake.  OK, I had my first surprise in this laboratory, my heart beat went a little faster because of the incident.  I guessed that I had to prepare myself for other coming surprises.  Bismillah…  In the name of Allah

Jumat, 01 November 2013

I DON’T WANT TO BE A TEACHER!


I dreamed of becoming a Muslim lawyer.  Because of that, I chose to major in criminal law politics (Siyasah-Jinayah) at Institut Agama Islam Negeri.
But, there were some things I could not help to resist.  One, was when I joined in a Non-Governmental Organization (NGO) specializing in education.  When I had an internship at District Court and Religious Court, I started to rethink the choice I made.  Was a profession in law field really something that I wanted?
After graduation, a friend informed me about a job vacancy as a teacher.  Unconsciously, I went right ahead and prepared all the documents needed and my friend helped to mail my application.  The next story is going to be in the opening chapter of this book. 
Now, I am a teacher.  I have a dream to travel the world as a teacher.  It is wonderful to be able to share experiences and culture with other teachers around the world.   
Living in a family of teachers had probably charged me with incredible energy in finally becoming a teacher. My father was a teacher, my mother taught in a kindergarten in the village.  Two of my older siblings are teachers.  One of my younger siblings was also a teacher.  It didn’t come as a surprise, when I decided to become a teacher.  It seemed that my youngest sister is going to be a teacher too.  Shocking, right? …
Luckily, when I was in sixth semester of my university years I joined with HEF (Human Education Foundation) that worked together with Plan International.  This is the NGO I talked the about in the early paragraph.  The activities I had in the organization had given me the knowledge on how to develop curriculum, make handouts, plan learning methods, innovate and dare to step up to many challenges. 
To this day, I have had many chances to share experiences. Becoming an outbound trainer, a key speaker at seminars and workshops, a speaker in radios, an English trainer, as well as a trainer on leadership, all of those had provided me with happiness.
I have never dreamt of being a teacher.  But Allah SWT has trusted me to be one.  I enjoy this profession as the means for me to serve and worship Allah and to always learn, learn to be more patient, more considerate and have more understanding of children’s innocent souls. 
I was destined to be a teacher, it was for myself and I dedicate my worship and service to the Master of All Masters.  Amin.

Kamis, 17 Oktober 2013

5 JAM BERSAMA MENGUBAH ENERGI!




Mendengar kata LAPAS ANAK (Lembaga Pemasyarakatan Anak), dalam pikiranku saya terbayang segala sesuatu yang cukup menegangkan. Ya, saya pernah berpikir ingin melihat dari dekat kehidupan orang-orang yang berada dalam “penjara”. Dan, apa yang saya bayangkan itu akhirnya saya alami. Inilah yang saya ketahui sebagai jawaban atas setiap apa yang kita pikirkan, insyAllah akan terjadi, kebaikan atau keburukan sekalipun.
Bagai sebuah do’a, akan selalu terkabulkan. Namun, hanya Tuhan yang akan menentukan waktu dan memberikannya di saat yang tepat J
Ketika ditawari untuk bergabung dalam sebuah acara outbound untuk anak LAPAS Kelas IIA di sebuah kabupaten di Jawa Timur, saya langsung menerima tawaran itu.
Bagaimana tidak? Ini adalah salah satu dari puzzle pikiran saya. Selain itu, saya ingin belajar merasakan energi jiwa-jiwa yang berada dalam lingkungan tersebut. Saya yakin, akan ada banyak pelajaran yang bisa saya nikmati di sana.
Seminggu sebelum acara dilaksanakan, saya ikut survei tempat dan melihat situasi-kondisi di sana bersama tim. Hmmm, dari gedung dan lingkungan LAPAS tidak sama seperti dalam bayangan saya sebelumnya. Saya harus berkata: “Ini tidak mirip LAPAS”. Maklum, saya belum pernah sekalipun masuk lingkungan LAPAS.
Gedungnya ramah, banyak tanaman dan taman kecil-kecil dilengkapi kolam ikan. Tidak ada jeruji besi seperti yang saya lihat di TV. Jerujinya didisain seperti jendela rumah dengan kaca di luarnya. Menurut keterangan Kepala LAPAS itu, ada ruang khusus dengan jeruji yang sedikit lebih besar yang diperuntukkan pada kasus khusus juga.
Beberapa penghuni kamar berjeruji sederhana itu terlihat keluar. Mereka bermain tenes meja, ada yang duduk di selasar untuk nonton film bersama. Saya mencoba mengamati 2 anak yang sedang menyiapkan tenes meja untuk segera dimainkan.
Saya berusaha menarik perhatian mereka, dengan memunguti beberapa helai pakaian yang terjatuh karena angin. Mereka melihat saya dan saya berikan senyum ramah. Reaksi yang mereka berikan adalah, sedikit menggangguk dan melanjutkan aktivitas persiapan tenes meja.
Tubuh mereka terlihat kekar tanpa kaos. Kondisi cuaca yang panas, sepertinya membuat mereka tidak nyaman memakai kaos atau baju. Saya sedikit menangkap sorot mata tajam namun tidak liar. Dari balik pagar yang sengaja tidak dibuka, saya berusaha berkomunikasi.
“Hei, kayaknya yang sebelah sana akan menang karena bantuan angin”. Saya mengatakan kalimat itu sambil tersenyum.
Tanpa jawaban, pemain di seberang memberi kesempatan lawan mainnya untuk pindah tempat di posisinya sekarang.
Akhirnya kami mulai berkeliling melihat area yang bisa kami gunakan untuk kegiatan outdoor.  Ketua LAPAS menemani dan menjelaskan kepada kami tentang lokasi-lokasi tersebut. jumlah peserta yang akan ikut kegiatan outdoor pada awalnya 80. Namun, ada kemungkinan 218 anak penghuni sel akan ikut semua.
Hmmmmm…. Pikiran saya semakin jauh mengembara.
Kami bertanya tentang kasus-kasus yang membuat anak-anak itu berada di tempat ini. Beragam kasus mulai dari yang kecil sampai besar; mencuri, pelecehan, imigran gelap, membawa senjata tajam, narkotika, sampai pembunuhan.
Tuh kan … pikiran saya semakin liar membayangkan pertemuan kami minggu depan!
Baiklah, harus banyak persiapan yang kami lakukan. Secara pribadi, saya harus menyiapkan diri dengan pikiran dan hati yang super positif. Istilah “super” positif saya gunakan untuk memotivasi diri agar mampu menciptakan suasana damai dalam diri saya sendiri. Intinya, saya cukup tegang! Hehehe ….
Setelah menikmati aktivitas hari raya Idel Adha, akhirnya waktu yang ditentukan untuk bertemu dengan penghuni LAPAS tiba. Kami menyiapkan alat-alat permainan dan beberapa kebutuhan yang akan kami gunakan saat belajar bersama mereka.
Perjalanan kami cukup lancar. Saya juga sudah mampu menurunkan gelombang tegang saya.
Ketika kami tiba di tempat, kami belum diijinkan masuk karena sedang berlangsung upacara tanggal 17 setiap bulannya. Kami menunggu sejenak dan sedikit bercanda dan berkomitmen, bahwa tidak ada kata apalagi kalimat yang berhubungan dengan keberadaan mereka di  LAPAS ini.
Kami masukkan memori ke dalam otak kami, bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang memiliki hak sama seperti anak-anak didik kami di sekolah.
Sipir sudah memanggil kami dan membuka pintu kaca yang dipasang terali besi yang berbentuk ketupat, sama seperti pintu rumah pada umumnya. Pintu ini selalu dalam keadaan tergembok dengan seorang sipir yang selalu menjaganya.


Kami segera masuk dan menaruh barang-barang kami. Sekitar 80 anak sudah menunggu di ruang aula. Usia mereka minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun. Mereka hampir serentak melihat kami yang memasuki ruang aula itu. Saya mendengar pengumuman bahwa, anak yang hari ini memiliki jam belajar harus tetap masuk kelas. Hmmm … itu berarti kegiatan hari ini akan diikuti maksimal 100 anak.
Mata-mata tajam mereka langsung melihat kearah kami. Mereka hampir bisa saya katakana, berusaha melihat kami dengan seksama. Saya menyapa mereka dengan senyuman, mereka membalas dengan tatapan mata antara keheranan dan bertanya-tanya.

Ketua tim sudah memulai acara, kami diperkenalkan satu per satu. Tim kami terdiri dari 5 orang ustadz dan saya satu-satunya ustadzah dalam tim. Saat acara di luar pembelajaran di sekolah, kami menggunakan panggilan Mas dan khusus saya dipanggil Miss. Hehe … namun, akhirnya mereka memanggil kami kakak.
Pada awalnya, berada dalam satu ruang aula bersama mereka membuat saya mampu merasakan energy yang sangat berbeda. Ada penerimaan, penolakan, penantian, pertanyaan, dan sekedar datang dan mengikuti tanpa peduli.


Ketika permainan ice breaking sudah dimulai, mereka sudah mulai terlihat cair. Saya mencoba mengamati lebih menyeluruh. Ada beberapa anak yang terlihat ada gangguan mental, lengan bertato, kulit dengan bekas luka-luka, baju kumal, dan mungkin ada juga beberapa yang malas mandi.
Ice breaking pertama membuat mereka mulai menikmati dan tersenyum. Ice breaking kedua membuat mereka mulai bergerak dan menunjukkan interaksi keseharian bersama teman. Ice breaking ketiga sudah mulai membangun persepsi baru dalam otak mereka kepada kami. Mereka mulai menikmati permainan dan secara tak terduga, sangat cepat membentuk suasana yang kami inginkan. Luar biasa!!!
Saya merasa diamati oleh seorang anak dengan seksama. Saya memutuskan untuk mendekatinya, dia terlihat malu. Saya hanya menepuk pundaknya dan mengacungkan jempol padanya, dia tersenyum.
Ketika saya membantu mengatur kelompok dan menghitung jumlah anggota kelompok, ada beberapa yang perkataannya kasar sekaligus reaksi tangannya juga cepat. Saya segera mendekati mereka dan sekedar menepuk pundak dan berkata;
“Terima kasih sudah bekerjasama”.
Akhirnya dia hanya tersenyum dan menghentikan aksi tangan yang semula sangat mudah memukul teman di depannya.
Saya harus mengatakan ini,
“Anak-anak adalah anak-anak dengan jiwa yang sama dengan anak-anak lain. Terlepas masalah apapun yang membuat mereka menjadi berbeda. Jiwa mereka tetap haus dengan sentuhan yang membimbing dan mempercayai bahwa mereka adalah anak-anak yang baik”
Beberapa hal yang membuat saya terperangah lagi, ketika mereka diminta membuat nama kelompok. Tanpa diberi kata kunci apapun, yang muncul adalah nama-nama binatang. Singa, Scorpio, Cobra, Kucing, Bebek, Monyet, Semut, dan Kambing hitam.
Akhirnya, kami membahas satu persatu mengapa mereka memilih nama binatang tersebut.
Setelah dipancing dengan beberapa kalimat “tantangan”, akhirnya mereka memunculkan jawaban-jawaban:

Kami memilih Singa, karena kuat.
Kami memilih Scorpio, karena ganas.
Kami memilih Cobra, karena melilit dan beracun.
Kami memilih Kucing, karena lincah dan disini banyak.
Kami memilih bebek, karena berkumpul, bersatu.
Kami memilih Monyet, karena monyet itu cerdas.
Kami memilih Semut, karena maju mundur bersama dan selalu saling menyapa.
Kami memilih Kambing hitam, karena lempar batu sembunyi tangan. Nah, itu yang menyebabkan kami ada di sini!

Kalau kita cermati, jawaban-jawaban tersebut lebih banyak yang positif kan? Meski ada beberapa yang perlu dilanjutkan sebagai bahan diskusi dan diarahkan pada segala pemikiran yang positif.
Sebelum kami melanjutkan kegiatan outdoor di lapangan, kami tuntaskan pembahasan nama kelompok dengan kesepakat semua mengarah kepada kebaikan. Dan Kambing hitam, harus menunjukkan mampu merubah diri menjadi Kambing putih yang bisa menebarkan manfaat untuk manusia dan lingkungannya.
Permainan outdoor kami siapkan dengan 4 pos. Semangat mereka luar biasa, inisiatif kelompok untuk memecahkan persoalan dan tantangan yang kami berikan sungguh luar biasa. Dalam permainan Crocodile River, ada yang rela keluar dan rela menggendong teman. Sungguh tak terprediksi suasana ini.
Sekali lagi, anak-anak adalah anak-anak yang selalu membutuhkan dunia anak yang sesungguhnya.
Setlah semua rangkaian acara tantangan selesai, kami mendengarkan  motivasi dari seorang tokoh. Beliau menyampaikan:
“Setiap orang berhak melakukan apa saja, namun untuk menjadi orang pilihan ya harus memberi manfaat kepada sekitarnya”
Setelah ditanya, apakah mereka ingin menjadi diri yang lebih baik? Hampir semua anak berkeinginan untuk menjadi lebih baik. Semoga perhatian, penerimaan, dan pendampingan kita mampu menjadi jalan bagi anak-anak ini untuk mampu menemukan kebaikan dalam dirinya dan disebarkan kepada lingkungannya.
Acara ditutup setelah anak-anak melakukan jama’ah sholat Dzuhur. Sebuah keajaiban terjadi, setelah sholat, mereka membaca sholawat, dan melakukan takbiran hari ketiga bersama. Kemudian salah satu dari mereka membaca surat Al-Muzzammil dengan suara yang luar biasa merdu seperti Bapak Muammar ZA (Qari’ international).
Makharijul huruf dan tajwid yang sempurna!
Ya Rabb, Engkau pasti memberikan pelajaran terindah bagi kami semua.
Saya memang tidak mendekati mereka secara mendalam, sekejap bertemu dan belajar bersama mereka sudah menceritakan banyak hal. Mengapa mereka berada di tempat ini, keinginan dan harapan, serta pengalaman mereka selama menjalani hidup di tempat ini.
Setiap jiwa yang menjalankan agama dengan baik, keluarga yang saling menyanyangi, pelajaran yang saling memotivasi, dan lingkungan yang baik harus diciptakan bersama. Kesalahan itu bisa dilakukan oleh siapa saja, terbuka menerima nasehat dan berteman dengan orang yang tepat itu yang harus selalu kita motivasikan kepada anak-anak seperti.
Ketika kami diberi waktu untuk berbicara di forum, saya yang diminta teman tim untuk maju. Saya sedikit bercerita tentang kenakalan saya di usia mereka. Kemudian saya mengungkapkan beberapa cerita indah tentang efek kebaikan. Mata mereka terlihat memancarkan harapan untuk menjalani hidup dengan lebih terhormat.
“Kalian harus bersyukur berada di tempat ini, ada banyak kepedulian yang kalian peroleh.  Di luar sana, masih banyak jiwa-jiwa yang melanglang buana dan kepedulian yang diberikan kepada mereka pasti sangat berbeda dengan yang kalian terima di sini. Jika ada yang merasa putusan pengadilan atas kalian tidak cukup adil, hidup harus tetap berlanjut! Karena kitalah yang menentukan pilihan, maka pilihlah kebaikan insyAllah kalian akan menjadi orang-orang sukses pada masa yang akan datang”
Akhirnya mereka bertepuk tangan dan bersalaman dengan kami sebelum kembali ke ruang mereka masing-masing. Yang sangat membahagiakan adalah wajah mereka yang penuh dengan harapan baru. Semoga mereka istiqamah untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Dan orang-orang yang memberikan kepeduliaan di tempat inipun demikian.
Dalam perjalanan pulang saya kembali berpikir tentang negeri ini. Di televisi banyak sekali artis yang masuk bui, kemudian mereka dengan bangga kembali menunjukkan diri. dan masyarakat juga menerima dengan begitu saja. Mereka kembali menikmati kehidupan glamour selebriti.
Banyak juga para pembesar di negeri ini yang masuk bui, menikmati fasilitas kelas tinggi, mendapat remisi, dan kembali hidup tanpa menjalani hukuman yang berarti.
Mereka adalah anak-anak yang terjerat hukum, ada juga beberapa yang memang memiliki keterbelakangan mental, tanpa pengacara handal. Hanya pembela dari pemerintah yang gratis, itu yang dikatakan mereka. Mereka hanya mampu menerima putusan tanpa banding. 5 tahun 4 bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk memberi kesempatan kepada anak-anak ini menikmati jiwa anak-anak.
Baiklah, kembali saya berharap kondisi di negeri ini tidak membuat saya apatis. Semoga setiap jiwa saling menjaga dan menciptakan suasana di negeri yang besar ini. Dan para pemimpin mampu mengemban amanah di negeri yang disebut GEMAH RIPAH LOH JINAWI.