Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Senin, 18 Februari 2013

HIDUP TERLALU "ENAK"

Setelah dua hari berkutat membaca buku tentang "SUKSES dan GAGAL" aku jadi mengingat cerita masa kecilku. Begitu banyak hal yang telah kualami untuk mengerti arti gagal dan mungkin banyak orang yang akan mengatakannya sebagai sebuah "Penderitaan".
Bagaimana tidak, untuk menikmati nasi setiap hari itu belum tentu. Memiliki alat tulis lengkap saja harus membantu tetangga memungut jambu monyet, kemudian diberi upah dan aku baru akan menikmatinya dengan membeli alat tulis.
Hmmm, sebenarnya bukan karena emak dan abahku tidak punya uang untuk membeli. Tetapi kami sangat berhemat untuk kepentingan "hidup" saat itu. Itu artinya sama saja ya? Hehehehe....
Membaca buku yang ditulis Michael Lum. Y membuat aku kembali melihat sekeliling juga.
Menjadi guru sepertinya membuat aku semakin detail dalam melihat hal-hal yang "biasa" terjadi. Berkumpul dengan anak-anak yang serba berkecukupan, merupakan tantangan tersendiri dalam mengenalkan arti "gagal" dan bahkan mungkin arti "penderitaan".
Secara fisik materi, aku cukup "susah" memberi gambaran yang jelas. Meminta mereka untuk membayangkan jika suatu saat, harta benda yang mereka nikmati saat ini akan hilang ternyata agak "sulit". Hehehehe ... Mungkin karena selama ini apa yang mereka inginkan selalu terpenuhi.
Mengajak mereka ke tempat yang "melas" cukup menyentuh di tempat itu. Ketika kembali ke kehidupan normal mereka, pelajaran empati itu sedikit demi sedikit beralih.
Kertas, buku, pensil, penghapus, sandal, sepatu, tepak, dan banyak lagi benda-benda yang kembali tergeletak di lantai dan tidak ada yang "mengakuinya". :(

Ketika itu terjadi, aku kembali mengingatkan dengan bahasa yang tegas.
"Mungkin hidup kalian saat ini terlalu enak, jadi kehilangan sesuatu yang berharga menurutku saat di usia kalian. Ini bukan sesuatu yang berharga! Jika saja kalian berani mengambil keputusan untuk merelakan diri dengan hidup yang serba "terbatas" mungkin kalian baru akan berpikir untuk lebih peduli dan menjaga barang-barang kalian".
kalimatku terlalu panjang untuk penjelasan kepada anak SD kelas 5 :(   (huuuuftttt ....)
Mungkin saat ini aku mengalami masa yang paling ngetrend "Galau"... hehehe ... Atau karena pada jam pertama kami sudah bermain peran dan mengekspresikan berbagai "perasaan", jadi kebawa deh!

Ya sudahlah, semoga semua yang kami lalui adalah pembelajaran yang akan membuat kehidupan kami lebih bermakna. Semoga para orang tua juga menyiapkan anak-anaknya untuk berpetualang dan merasakan berbagai kenyataan hidup.

Dalam buku Michael ditulis, ada seorang wartawan yang melakukan wawancara kepada seorang yang kaya raya, pokoknya tajir deh! Disela wawancara si Ayah mengatakan, saya ini sudah tua dan saya akan mewariskan seluruh harta kekayaan saya kepada anak saya satu-satunya. Namun, saya merasa takut? Kira-kira apa yang ditakutkan si Ayah? Ada yang bisa jawab? ...... Ditunggu ....



Sabtu, 02 Februari 2013

MONOLOG? AKU TIDAK SABAR!!!



 "Monolog itu apa sih?", Farrel sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan arti kata monolog. Yap, kami sedang mempersiapkan sebuah proyek MONOLOG sebagai wujud kompetensi verbal. Kompetensi ini kemudian disandingkan dengan kompetensi lain, kompetensi sosial yang sedang mempelajari kebudayaan Indonesia, Akidah Akhlak yang bisa memasuki semua ruang kompetensi dengan tujuan menemukan sisi spiritual di setiap kompetensi.
"Monolog itu sebuah pementasan tunggal, seorang aktor yang berakting sendirian di panggung pementasan. Kali ini kalian bebas memilih, mau jadi presenter, dalang, pendongeng, atau aktor berperan ganda.", aku menjelaskan arti monolog tanpa melihat kamus bahasa Indonesia. :) 

Fokus utama dari proyek monolog ini adalah, anak-anak menikmati proses pembuatan naskah dengan ide mereka masing-masing yang akan dipentaskan sendiri. Ini adalah pilihan dan proses yang cukup menantang bagi anak-anak. 
Fokus kedua adalah, kepercayaan diri dan keberanian mengekspresikan ide cerita dalam sebuah pementasan nyata.
Fokus ketiga adalah, anak-anak mampu belajar secara integrated dengan segala kemampuan yang mereka miliki. meramu informasi, menuangkan menjadi ide naskah, melatih keberanian, memilih tema, dan banyak lagi kemampuan yang diperlukan untuk siap mengahdapi proyek ini.

Pada awalnya mereka merasa bahwa proyek individu ini tidak bakal "menggetarkan nyali". Untuk membuat menciptakan sebuah fokus, kedisiplinan, tanggung jawab, dan imajinasi yang lahir dari diri sendiri, maka kami memutuskan untuk membuat panggung mini di selasar kelas. Sebenarnya awal rencanaku, panggung akan dibuat di lobby. Namun, untuk beberapa situasi yang kurang pas kami memutuskan panggung berada di selasar kelas kami yang selalu dilewati banyak orang.
Itu berarti setiap orang yang lewat akan berkesempatan untuk melihat karya mereka. Pentas kami lakukan juga di saat anak-anak  menikmati waktu istirahat. Para penonton boleh membawa makanan dan minuman sambil menonton pementasan monolog kelas 5.

Proses pementasan dibagi menjadi 3 tahap. Hari pertama: Selasa, 29 Januari 2013 adalah pementasan pertama. Peserta di hari pertama terlihat cukup nervous saat persiapan menuju panggung.

Yang luar biasa menurutku, panggung sederhana, penonton dengan kursi, dan tulisan sederhana “MONOLOG SHOW” benar-benar sudah menjadi ajang tantangan asah talenta bagi anak-anak. Jika aku sendiri yang melihat, segala sesuatu yang serba sangat sederhana itu belum tentu akan menimbulkan “dag dig dug” dan tantangan. Tapi TIDAK untuk mereka. Anak-anak sangat bersemangat dan merasa panggung mini itu adalah sebuah panggung ekspresi yang membutuhkan persiapan khusus. LUAR BIASA!

Satu demi satu para peserta mempersembahkan monolog mereka. Aku meminta Dega untuk menjadi host  atau pembawa acara pada putaran pertama ini. Aku hanya ingin menikmati dan memberi nilai pada pementasan mereka. Cara Dega memilih acak naskah para peserta cukup membuat tegang para penonton. Murid Australiaku sudah terlihat tegang, berharap bahwa gilirannya masih akan lama.

Yes! Time for Didi!!! And the audience gives a thousand applause for her! J
Selangkah demi selangkah Didi maju ke panggung. Anak-anak yang lain siap mendengarkan. Yap! Didi adalah anak yang sangat jarang terdengar suaranya. Kemampuan bahasa Inggris yang melebihi kemampuan berbahasa Indonesia membuatnya ragu untuk presentasi dalam bahasa Inggris. Mungkin dia takut jika teman-temannya tidak mengerti ceritanya. Tenang Didi, kami ini siap dengan segala suasana. Butuh untuk berbahasa Inggris? SIAP! Butuh untuk mencangkul? SIAP! Butuh imam Sholat? SIAP! Hehehe ….

Kalimat demi kalimat diucapkan Didi dengan cukup keras. Dia bercerita tentang kucing yang gemuk, makan apapun yang ada dihadapannya. Ketika sampai pada kalimat kedua yang sama, and now, I am going to eat you! Semua anak tertawa. Akhirnya, kalimat itu menjadi kalimat yang dihafal dengan baik oleh teman-teman Didi. Didi pun terlihat semangat bercerita.

Luar biasa, dari pementasan pertama ini aku menemukan betapa sangat berharganya pengakuan, motivasi, dan kepercayaan yang diberikan teman untuk teman yang lain. Membuat kelemahan teman berubah menjadi kekuatan untuk maju dan berusaha lebih baik.

Belajar dari pementasan pertama, anak-anak di pementasan kedua terlihat lebih siap berakting. Meski hampir semua peserta tetap memegang dan membaca naskah, namun suara mereka sudah terdengar lebih lantang dan menguasai panggung. Sudah ada yang berhasil memerankan dua bahkan sampai tiga tokoh dalam sebuah naskah. Usaha membawa property pendukung cerita sudah terlihat di pementasan kedua ini.

Pada pementasan ketiga, banyak teman yang sudah ditunggu-tunggu ceritanya. Ifal yang terkanal dengan kelucuan dan kepedeannya benar-benar sudah membuat teman-temannya terhibur. Farrel dengan segala pertanyaannya, telah membius penonton dengan acting memerankan tiga tokoh dengan sempurna untuk ukuran pementasan perdananya. Dia membuktikan rasa tidak sabar dan komentar-komentarnya tentang pementasan kawan-kawannya yang dinilai belum maksimal dalam berekspresi. Dan Farhan, tanpa naskah dia dipanggil ke panggung bercerita tentang “NEGERI TIDAK BISA” dengan sempurna.

Sungguh luar biasa!!! Ada sih beberapa anak yang masih demam panggung, itu kewajaran yang suatu hari nanti PASTI akan berubah menjadi sebuah persembahan yang SPEKTAKULER!
Aku ingin mengutip kalimat bang Andrea Hirata, penulis Tetralogi LASKAR PELANGI untuk menutup ceritaku.
Teruslah berkarya, dan karyamu yang akan mencari jalannya sendiri!