Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Minggu, 06 Januari 2013

BERPIKIR POSITIF DI NEGERI NEGATIF


(Kali ini mencoba nulis serius  )

Berbagi kebahagiaan dengan orang lain adalah perbuatan yang mulia. Memberi santunan kepada fakir miskin adalah anjuran agama. Bersedekah dan beramal adalah wujud rasa syukur yang sebaiknya hanya antara hamba dan Tuhannya.Di negeri ini banyak orang yang berniat baik dan sudah mewujudkan kebaikan itu. Namun, segala niat baik itu akhirnya berwujud antrian sangat panjang, berdesakan, terinjak-injak, pingsan, bahkan kehilangan nyawa para penerima kebaikan tersebut.
Mari kita lihat kembali beberapa kejadian yang ditayangkan di televisi maupun yang dimuat hampir di semua surat kabar di negeri ini. Pelaksanaan pembagian zakat, pembagian hewan qurban, hingga acara Open House dengan Presiden telah melahirkan realita yang memilukan. Terlepas dari sisi politik yang kadang dibahas secara detail di media elektronik, telah menjadikan moment-moment tersebut melenceng dari niat baiknya. Akhirnya, yang terlihat adalah betapa banyaknya warga Negara ini yang hidup di bawah garis kemiskinan. Atau bahkan yang sangat disayangkan adalah budaya menadahkan tangan akhirnya terjadi setiap tahun.
Bagaimana kalau pemandangan itu kita minimalisir dengan mengubah cara pandang kita? Dengan berlogika terbalik bahwa kondisi “miskin” yang dirasakan setiap orang sebagai kondisi yang selalu kekurangan, dirubah cara pandangnya menjadi kondisi yang terhormat dan bermartabat? Dengan demikian, si kaya akan benar-benar memuliakan si miskin dengan mengulurkan tangan kanannya untuk memberi tanpa diketahui oleh tangan kirinya. Begitu pula si miskin, akan merasa dimuliakan, karena kondisi kemiskinannya tidak membuatnya harus menadahkan tangan.
Saya berpikir, ketika membaca spanduk yang dipasang di jalan-jalan dengan kalimat kurang lebih bermaksud seperti ini: “Memberi uang kepada anak jalanan, pengamen, dan sejenisnya berarti membantu kemiskinan di negeri ini”. Atau dengan kalimat singkat: ”Anda memberi, menyuburkan kemalasan”. Bagi saya, spanduk yang dipasang itu sebenarnya bukan sekedar larangan atau sekedar himbauan. Menurut saya, spanduk itu mengajarkan banyak hal diantaranya: Jangan bangga menjadi pengangguran, berusahalah untuk memperbaiki kehidupan, hargailah diri dengan prestasi, dan sampaikanlah kebaikanmu pada tempat dan kondisi yang benar. Dengan berlogika terbalik, buatlah spanduk dengan tulisan: “Gemah ripah loh jinawi, hasil karya setiap warga di negeri ini”. Amin …
Berlogika terbalik dalam kondisi kekurangan, sama halnya dengan melatih sikap positif dalam setiap hal dan kondisi. Jika hidup membutuhkan kebiasaan, maka biasakanlah diri bersikap positif. Karena sikap itu yang akan memberikan rasa tangguh dalam menghadapi segala kondisi. Sehingga ketika seseorang sedang berada pada posisi si kaya, ia akan membiasakan dirinya tangguh dalam kekayaan dan tidak akan sulit baginya untuk berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain. Dan suatu ketika saat berada dalam posisi si miskin, ia akan membiasakan dirinya tangguh bekerja keras untuk tidak terpuruk pada kondisi ini. Berpikir positif menjadikan orang cerdas dalam mencari jawaban atas peristiwa yang dialami.
Hampir sempurna pelajaran menjadi warga yang merasa “kurang” di Negeri kaya ini. Bayangkan saja, dari masa penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang ingin mengambil kekayaan segala sumber daya di negeri tercinta ini. Kemudian dilanjutkan dengan perpecahan di negeri sendiri dengan beragam sebab. Misalnya; keinginan suatu daerah lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), merasa tidak cocok dengan Pemimpin, akhirnya “memberontak” bahkan sampai “menggulingkan” kekuasaan, dan lainnya. Yang tidak ditolak adalah ketika Tuhan member pelajaran kepada kita dengan menunjukkan feomena alam yang berwujud “bencana” yang sudah rata dialami semua provinsi di Negara kita. Masih kurangkah pelajaran tersebut?
Setelah melihat ulang kejadian yang memilukan, kita coba pelajari beberapa peristiwa yang adem-ayem saat niat baik berbagi rezeki itu terjadi. Ketika sebuah daerah mengalami bencana alam, mereka harus kehilangan harta benda dan kehilangan keluarga.  Kemudian di saat yang sama mereka harus memilih meninggalkan harta benda untuk menyelematkan diri dan bertahan hidup dalam pengungsian.
Perasaan senasib sepenanggungan pada setiap jiwa, ternyata melahirkan keeratan hati. Sebagai wujud yang indah terciptalah kerja sama, jiwa saling menolong, saling melindungi, dan kepedulian banyak pihak menjadi pemandangan yang sungguh menyentuh. Para dokter rela meninggalkan tempat nyamannya untuk bersama-sama memberikan manfaat. Jiwa-jiwa relawan muncul dan memberikan pelayanan terbaik kepada para korban. Dan masih banyak lagi kebaikan yang terlahir dalam kondisi tersebut; penggalangan dana yang dilaksanakan hampir semua elemen masyarakat. Sepertinya “perasaan senasib sepenanggungan” menjadi kunci bahwa rasa “miskin” itu menjadi tiada.
Pada peristiwa lain kita juga bisa kita pelajari (maaf sedikit berpolitik). Ketika masa pemilihan pemimpin, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/ kota madya, provinsi, sampai Negara ada istilah “serangan fajar” muncul mewarnai panggung kehidupan tersebut. Dari sisi positif, para calon pemimpin tersebut ingin berterimakasih kepada para pendukungnya yang bersedia mempercayakan tampuk kepemimpinan tersebut di pundaknya. Hasilnya, saat penyaluran niat baik itu tidak perlu antrian panjang dan tidak menyebabkan adanya korban terinjak-injak apalagi kematian. Mungkin karena sikap menghargai yang diciptakan oleh calon pemimpin tersebut, dengan memberikan bantuan secara sembunyi-sembunyi itulah yang meminimalisir korban. Jika ada masalah yang muncul, lebih ke pertanggung jawaban individu bukan?
Dari beberapa peristiwa tersebut, ada baiknya cara penyaluran zakat dan daging kurban atau semacamnya ditinjau kembali cara penyalurannya. Yang saya ketahui dengan cara orang desa, mereka membuat kepanitiaan yang bertugas mengurus dari awal hingga penyalurannya ke rumah warga yang diantarkan secara langsung. Sistem kedua yang saya pelajari selama menjadi panitia penyaluran zakat dan semacamnya di sebuah lembaga pendidikan di Surabaya, panitia yang terdiri dari guru dan murid tiga hari sebelum pelaksanaan kami menjelajah area untuk membagi kupon kepada yang berhak menerima. Saat pelaksanaan kami sudah perhitungkan waktu dan jumlah kupon yang disebar agar tidak terjadi antrian panjang. Alhamdulillah, dengan cara ini kami sukses selama Sebelas tahun sampai saat ini.
Mungkin saya terlalu sederhana mencontohkan dengan skala pengalaman di atas. Saya berpikir, ketika penyaluran itu akan dilaksanakan (tanpa mengetahui realitas yang sesungguhnya) dalam lingkungan yang lebih luas, maka kepanitiaan yang professional dan memadai, perhitungan waktu dengan kuota yang dipastikan, serta adanya kerja sama yang baik dalam lingkungan tempat tinggal, maka antrian panjang dan pemandangan memilukan tidak akan terlihat lagi. Istimewa, jika panitia tersebut bisa mengantarkan langsung di tempat tinggal penerima sedekah. Semoga Jakarta dan kota besar lainnya berlogika terbalik dengan peristiwa ini. Wujudkan bersama!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar