Menu Tab

  • BERANDA
  • PUISI
  • MOTIVASI
  • INDOOR
  • OUTDOOR

Selasa, 24 Juli 2012

Malam Kedua



Perang hari ini sebenarnya cukup berat. Baru kali ini aku mengalami kerugian yang tak ternilai, “tidak makan sahur”. Ketika bangun sudah terdengar adzan Subuh. “Astaghfirullahal Adzhiim”, segera aku diskusi dengan tubuhku agar hari ini ia kuat dan sehat.
Setelah sholat Subuh aku berjuang untuk tidak tidur dan tidak malas-malasan. Aku keluar untuk merasakan energi alam semesta. Luar biasa!!! Aku tak dapat gambarkan melalui kata, karena itu tak cukup mewakili keindahan pagi ini. Aku bercanda dengan penduduk di taman Saraswati. Sungguh luar biasa, langit begitu cantik, batang pohon trembesi sangat indah bagai lukisan alam kulihat dari cermin air.
Ujian kesabaran dan keikhlasan dimulai. Semua tugas sudah menumpuk dan harus diselesaikan dengan baik. baiklah, aku akan selesaikan. Konsentrasi kufokuskan pada tugas agar segera selesai. Sangat indah, karena beberapa teman juga bersaing kesibukan. Kami mengerjakan dengan lelucon konyol dan cerita yang membuat kami ngakak. Terima kasih, antioksidan tertawa ini mujarab.
Jum’at pertama dalam Ramadhan. Kami menyelesaikan tugas dengan baik. dengan segala keunikan cara kami dalam menyelesaikannya, sepertinya kami memenuhi syarat untuk dibawa ke RS Menur. Hahahaha ...
Perjalanan panjang akan kumulai dari angkot menuju rumah syurgaku. Setiap kali naik kendaraan umum sebenarnya aku lebih banyak menyiapkan diri untuk berbagi dengan ketidaknyamanan dan bahaya. Menenankan diri dengan memakai masker, menghindari asap rokok, dan kupejamkan mata merasakan perjalanan.
Biasanya aku sampai tertidur, tapi kali ini tidak. Aku terjaga dan tak tertidur sekejap pun. Hari ini memang tidak semua orang puasa, kulihat warung-warung masih normal. Para pembeli juga masih nyantae menyantap makanan. Para lelaki masih bebas menebarkan asap rokok mereka tanpa ragu.
Aku mengamati perjalanan hari ini tanpa si Kirei kamera Canonku. Aku sengaja tidak membawanya, karena aku hanya  ingin menikmati pelajaran dalam perjalanan kali ini. Diantara kepadatan kendaraan, aku masih melihat pengendara motor yang tidak memakai helm. Mereka sangat berani bernegosiasi dengan kecelakaan.
Sebagai orang yang sudah mengalami kecelakaan hingga 2 kali, aku sangat tahu arti penting helm. 2 kecelakaan aku alami tanpa helm. Tulang pipiku retak, hingga membuat pipiku tak simetris lagi. Kecelakaan terakhir 3 hari lalu aku berteman helm. Itu sangat membantu. Benturan di kepala yang membuatku pusing 2 hari, itu pelajaran yang sangat berharga.
Oke, aku lanjutkan perjalanan berikutnya. Aku harus ambil angkot lain untuk melanjutkan perjalanan menuju desa. Di perempatan aku melihat anak-anak bebas berkeliaran bermain. Padahal saat itu kendaraan juga tak ada sepinya. Seorang gadis kecil menyapa seorang Bapak, “Pak, punya korek?”... aku kaget mendengar pertanyaan gadis kecil itu.
Si Bapak hanya melihat gadis itu dan berlalu tanpa peduli. Ada dua bocah laki-laki yang berusaha memasang ban untuk ayunan di sebuah pohon. Si gadis ditemani seorang gadis kecil lagi berlarian sambil teriak kepada siapa saja yang ditemui, “Punya korek api?”. Aku berpikir, “Jangan-jangan menyalakan petasan”?
Tak lama kemudian, dua gadis itu membawa putung rokok. Ia berteriak memanggil teman lelakinya, “Hei, iki rokok ... bisa dipakai”. Si anak lelaki memanggil teman lain. Tepat seperti dugaanku, mereka mencari tempat untuk menyulut ... dan .... dor dor dor!!!!. Mereka tertawa terbahak, kemudian berlalu dengan santainya. Dalam sekejap, mereka kembali berhamburan di jalanan. Oooohhh .... negeri apa ini? Mengapa aku bisa tinggal di sini???
Perjalanan berlanjut, akhirnya angkot memasuki terminal. Saatnya berganti bus mini untuk rute terakhir. Aku melihat bus itu sudah penuh sesak, namun aku tetap harus masuk. Jika aku tidak naik bus ini, maka aku akan semakin malam. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Baiklah, ujian kesabaran berikutnya akan dimulai.
Hmm, beberapa lelaki sudah berjajar dengan tangan menggelantung di besi tengah sebagai pegangan. Dengan sangat terpaksa aku harus berada diantara mereka, ini yang paling tidak kusuka. Tapi aku akan semakin tersiksa jika mengeluh. Aku segera memakai maskerku, meletakkan tasku di depan dada, menenangkan diri, dan tetap siaga.
Suara lelaki di belakangku menawarkan tempat duduk kosong, namun ada suara perempuan yang berkata: “Ini ada penumpangnya, dia seorang ibu sudah menunggu di pintu keluar”. Aku tidak perlu masuk dalam perbincangan mereka, pikirku. Aku hanya diam dan melafalkan segala yang kubisa untuk tetap tenang.
Bus semakin penuh sesak, dalam hati aku ingin mengingatkan sang Kondektur kalau tanggung jawabnya besar. “Membawa dan menjaga jiwa para penumpang”. Namun, para penumpang yang ingin segera pulang sepertiku juga kurang peduli dengan kondisi ini. Aku rasakan mulutku semakin terkatup. Akhirnya aku memilih menutup mataku dan bermeditasi dalam keadaan berdiri.
Setelah 20 menit perjalanan, pak Kennet meminta uang kepada para penumpang. aku bersiap membuka mata dan menunggu giliran. Seorang pemuda yang sedari tadi duduk di samping aku berdiri menawarkan tempat duduk, “Mbak, silahkan duduk di sini”. Aku hanya memberi kode tidak dengan tenganku dan menunjuk ibu-ibu yang berdiri di depanku.
Hmm, tapi pemuda ini tidak mengerti atau kurang peka, aku tak mau tahu. Adzan maghrid terdengar sayup, aku berkata dalam hati; “Selamat berbuka puasa bagi semua saudaraku yang menjalankan ibadah puasa hari ini. Semoga puasa penuh berkah dan menjadi pelajaran indah. Amiin”.
Setelah membayar, aku kembali menutup mata dan melanjutkan meditasi. Segala percakapan para penumpang, komentar dan canda tawa mereka kudengar dan kuabaikan. Aku hanya ingin menikmati perjalanan ini dengan caraku. Separo perjalanan sudah kurasakan, aku tetap diam dan menikmatinya.
Adzan Isya’ terdengar, hmm ... perutku juga sudah mulai bicara. Tidak jadi masalah, aku kembali berdiskusi dengan perutku. Semoga maag tidak sudi mengahampiriku. Alhamdulillah, akhirnya aku mendpatkan tempat duduk setelah satu jam setengah berdiri diantara para penumpang.
Saat rute memasuki hutan “Australia”, aku menyebutnya begitu ... hehehe ... kami dikejutkan dengan benda putih yang berceceran di tengah jalan. “Apakah itu manusia?”, tanya Kondektur. “Kennet, turun dan periksalah”, Kondektur meminta. “Waduh, bagaimana kalau itu manusia?”. Dengan sedikit ragu pak Kennet turun dan memberi inifo, “Ini adalah tanah dolomit, ayo kita lanjutkan perjalanan”.
Akhirnya kami semua lega. Hmm, aku sudah tidak memejamkan mata lagi. Karena perjalananku tinggal sebentar. Alhamdulillah, tepat pukul 19.15 WIB aku turun dari bus. Jalanan sepi, setiap mushollah sudah terdengar suara jama’ah tarawih. Allah SWT, terima kasih atas plajaran hari ini. Sungguh luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar