Bagaimana
kerapian sandal dan sepatu menjadi tema dalam belajar spiritual di SAIM?
Sandal dan sepatu yang
tertata rapi menghadirkan kesan apik dan nyaman. Secara sederhana,
pribadi-pribadi yang menyempatkan diri untuk menata sandal atau sepatu mereka, maka
bisa dilihat karakter telaten, rapi, sadar lingkungan, dan memperhatikan
keindahan. Sikap ini hadir bukan tiba-tiba, tetapi perlu belajar membiasakan
diri secara terus menerus. Proses belajar menghadirkan kebiasaan yang baik ini
selalu ada lika-liku perjuangannya.
Guru dan orangtua wajib
untuk menjadi teladan dalam membangun kebiasaan yang baik. Naluri imitasi pada
diri anak masih cukup mendominasi, terlebih di usia dini dan anak-anak. Jangan
dikira di usia ABG dan remaja mereka juga tidak ingin meniru? Bedanya, ketika
usia dini dan anak-anak peniruan dilakukan anak pada lingkungan terdekat dan
pribadi-pribadi terdekat. Pada usia ABG dan remaja mereka memiliki tokoh-tokoh
idola yang bakal menjadi cermin proses imitasi mereka.
Nah, sebelum mereka
menemukan tokoh idola di luar rumah, tantangan bagi orangtua dan guru adalah
mampu menjadi tokoh idola di sekitar mereka. Sehingga ketika masa ABG dan
remaja mereka akan mengagumi orang lain; gaya bicara, berpakaian, hidup, dan
lainnya tetapi masih bisa menggunakan akal sehat dan cerdasnya untuk memilih
tokoh mana yang lebih baik.
Kembali ke masalah
sandal; sandal dan sepatu hanya datu contoh kecil, kerapian loker, buku
catatan, dan kerapian pakaian juga menjadi pembelajaran yang membutuhkan
kebiasaan. Ini akan cukup sulit dilakukan bagi anak-anak yang memiliki
fasilitas bantuan istimewa sejak kecil. Ada asisten rumah tangga, keluarga yang
selalu khawatir akan kondisi anak-anak mereka, dan sikap memanjakan anak
sebagai suatu hal yang tidak disadari sikap inilah yang MELEMAHKAN anak.
Masalah sandal dan
sepatu kok ya jadi berat jika dikaitkan dengan spiritual ya? Lho lho … bagi
orang yang senang belajar, ini bukan berat dan memberatkan. Malah akan menjadi
tantangan untuk ditaklukkan. J
Bagaimana
Setting Pembelajaran dengan Bermain
Bisa Menjadi Dunia Spiritual?
Proses pembelajaran
yang biasa terjadi dalam dunia pendidikan kita;
Guru mengucapkan salam,
bertanya kabar hari ini, menulis di papan, meminta siswa mencatat, siswa diberi
pertanyaan, siswa menjawab, siswa yang tidak bisa menjawab tidak dibimbing
untuk menemukan jawaban, berdo’a selesai belajar, keluar kelas atau pulang.
Proses
pembelajaran yang inovatif;
Guru datang dengan
wajah riang, melihat dengan cermat keadaan emosi siswa, merespon dengan tepat,
berolah peran sesuai kebutuhan anak, memulai pembelajaran dengan persoalan
nyata, mengajak diskusi mencari solusi, memikirkan kemungkinan solusi lain,
mengevaluasi proses, merancang proyek, member tantangan, menyelesaikan proses
dengan kalimat:
“Kita tunggu hasil
penelitian anak-anak hebat di kelas ini besok ya!”
Setting
bermain mampu mengajarkan semua karakter dalam kondisi gembira. Misalnya,
“Melajutkan Kata”.
Anak-anak berbaris
sesuai urutan tinggi badan, kemudian mereka bergantian melanjutkan kata yang
telah ditulis oleh teman sebelumnya. Hingga orang terakhir menulis kata
penutup.
Permainan ini
mengajarkan, bagaimana memberi kesempatan kepada orang lain. Pandai mengisi dan
mewarnai ide orang lain menjadi sempurna. Bersabar menunggu giliran bermain dan
mengikuti peraturan yang telah disepakati bersama.
Setiap permainan
sesungguhnya mengajarkan segala sesuatu, guru dan murid butuh berdiskusi untuk
memaknai setiap permainan dengan nilai-nilai kehidupan. Bermainlah dalam hidup,
namun jangan permainkan kehidupan.
Dunia
Spiritual di Ruang Makan
Makan adalah kebutuhan
pokok manusia, kebutuhan pokok ini kalau tidak terpenuhi dalam diri anak, maka
efeknya akan lebih dahsyat dari yang terjadi pada orang dewasa. Jika orang
dewasa menyebut perilaku negatif hadir dari kebutuhan dasar, yaitu makan.
“Mengapa anda melakukan
pencurian?”
“Karena saya terpaksa
Pak, anak saya tidak makan”
“Mengapa anda melakukan
perbuatan negatif ini?”
“Saya terhimpit ekonomi
Pak?”
Dan berbagai macam
kejahatan yang dilakukan manusia karena kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi. Dan
anak-anak, jiwa yang murni jika mengalami persoalan ini maka bisa kita
bayangkan, pendidikan masa keemasan akan mengalami proses yang terbelokkan oleh
rasa lapar.
Oleh karena itu,
menyiapkan bekal makanan untuk anak adalah WAJIB bagi orangtua. Jika orangtua
tidak punya waktu, maka harus ada manajemen waktu yang baik atau diskusi yang
menenangkan serta upaya yang bermakna untuk persoalan ini. Bekal sederhana yang
dibawa akan sangat berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental anak-anak kita.
Jika jalan memberikan uang jajan harus kita lakukan, maka seyogianya ananda
uang menjadi topik pembelajaran yang sangat baik.
Ketika jam makan siang,
pelajaran dari ujung ke ujung sudah menanti anak-anak. Bagaimana mereka
mengantri, menservice diri sendiri, makan dengan bersih dan teratur, serta
menyempurnakan dengan mencuci piring-piring mereka. Sungguh pembelajaran
karakter yang terintegrasi secara sempurna dalam satu kegiatan yang kita anggap
sangat biasa. Di meja makan juga terjadi percakapan sederhana yang mampu
menjadi moment katarsis bagi anak. Melepaskan cerita sederhana dan tertawa
bersama. Sungguh spiritualitas yang alami dengan proses alami.
Dunia
Spiritual Dalam Disiplin Diri
Seorang anak yang cukup
sering terlambat masuk sekolah, apakah perlu dihukum?
Hmmm, hukuman fisik?
Hukuman mental? Atau, hukuman sosial?
Hukuman fisik pasti
meninggalkan luka luar dalam, rasa sakit dan rasa kesal. Hukuman mental? Waaah,
ini malah akan dikenang sepanjang zaman. Hukuman sosial? Tunggu dulu,
mungkinkah ini pilihan yang tepat?
Hukuman apapun yang
diberikan kepada anak, pasti menyakitkan. Oleh karena itu, membangun kesadaran
adalah hal pertama yang akan kita lakukan.
“Mengapa kamu terlambat
hari ini?”
“Macet Ust Ustadzah”
“Berapa
jarak rumah dan sekolah”
“Saat
lancar, biasanya hanya 30 menit”
“Hmm,
pukul berapa kamu ?”
“Aku
tidak lihat jam Ust”
“Sholat
Subuh kan?”
“Aku
sudah minta dibangunkan”
Wajahnya
sudah mulai bingung, kalimatnya terasa berat.
“
Oh, antri mandi sama adik?”
“Iya,
dia lama sekali sarapan!”
“Jadi
macetnya di rumah?”
“Iya
Ustadzah”
“Baiklah,
sepertinya kalau kamu melakukan banyak kebaikan akan cukup meringankan beban
hatimu hari ini. Jadi, apa yang akan kamu lakukan agar kekurangan ibadah tadi
pagi bisa sedikit seimbang?”
“Aku
menata sandal di masjid ya Ust?”
“Baik,
terima kasih ya”
“Tapi
aku juga ingin menghafalkan surat As-Syams
karena aku tidak sholat Subuh”
“Baiklah,
terima kasih”
Terlambat
masuk sekolah, mungkin hal yang biasa terjadi. Namun, komunikasi yang baik dan
benar akan sangat mempengaruhi pandangan guru terhadap anak didik. Membangun
kesadaran untuk memahami persoalan pribadi, menganalisa, dan membuat keputusan
adalah kemampuan logika tingkat tinggi. Spiritualitas inilah yang sangat perlu
dibangun secara sistematis pada usia anak.
Bersepatu
mungkin hal yang sangat biasa, tetapi bersepatu adalah media pembelajaran
kedisiplinan, tanggung jawab, ketelitian, dan kemandirian. Anak-anak yang
terbiasa dilayani, akan mengalami sindrom ketidak pedulian, bahkan pada diri
sendiri.
Jika
kesalahan terulang berkali-kali, maka merumuskan tanggung jawab apa yang harus
dilakukan anak, itu kunci kebijaksanaan. Mungkin, dalam tanggung jawab, anak
akan memilih tanggung jawab fisik; naik turun tangga, keliling lapangan, dan
lainnya. Di sisi mental, bisa saja anak memilih tidak masuk kelas dan membantu
Leadership
Camp
dan Spiritual
Menjadi seorang
pemimpin yang tangguh dan mampu mengemban amanah harus dilatih sejak dini.
Membuat sebuah keputusan yang tepat juga membutuhkan proses dan seberapa banyak
anak menghadapi masalah. Semakin banyak anak memiliki kesempatan untuk
“bermasalah”, anak akan memiliki berbagai pilihan jalan untuk mencari solusi.
Leadership
Camp
didisain sebagai sebuah kegiatan tantangan kerjasama individu, kelompok kecil,
dan kelompok besar. Menginap di sekolah merupakan sebuah training untuk
membentuk jiwa kemandirian dan tanggung jawab. Berbagi tempat tidur, tantangan
tepat waktu dan mengikuti semua kegiatan dengan semangat hingga akhir.
Kamar yang biasa ber-AC
menjadi kamar dengan alas sleeping bag
dan penuh dengan teman, satu kamar 20 anak. Hmm, pengalaman yang pastinya tidak
akan terlupakan. Belum lagi nyamuk dan suasana gerah yang kadang membuat mata
tidak lantas terpejam. Sekolah melatih diri anak dengan hal-hal yang kadang
tidak terlintas dalam bayangan orangtua yang selalu menginginkan putra putrinya
nyaman dan terlindungi.
Namun, ketahuilah
ketidak nyamanan ini yang membuat otak kita aktif dan mengembara untuk mencari
solusi terbaik dalam menghadapi hidup. Kondisi-kondisi yang tidak kita
inginkan, adalah kondisi yang kita butuhkan. Untuk melatih diri, berempati,
berdamai dengan keadaan, dan menciptakan ketahan diri secara alami.
Pemimpin yang tangguh
tidak terlahir dalam kondisi aman, nyaman, dan segala sesutaunya terpenuhi.
Pemimpin yang tangguh digembleng sedemikian rupa untuk mampu merasakan berbagai
sisi kehidupan, sehinggan pemimpin peka terhadap sekitarnya dan mampu menemukan
solusi dengan baik.
Outbound dan Spiritual
Hidup jauh orangtua
dalam usia anak mungkin tidak pernah terbayang dalam benak anak-anak yang
terbiasa hidup dengan nyaman dan penuh kasih sayang orangtua. Diajak masuk
keluar hutan, bekerja sama di alam terbuka dan menghadapi tantangan alam. Hujan
yang tidak terprediksi, panas yang kadang tak cukup bersahabat. Semua pengalaman
itu menjadikan anak-anak mengenal diri dan Tuhannya, melalui perjalanan yang
terlihat biasa namun terasa istimewa.
Menangis karena ingin
pulang, entah karena tidak nyaman atau rindu kasih ayah dan bunda. Tertawa
bahagia dan bangga melihat diri mampu menjalani ujian dunia, sungguh
kebahagiaan mereka tidak sebanding dengan kebahagiaan para ustadz/ustadzah dan
mama/papa yang bangga dengan kekuatan hati dan pikiran anak-anaknya.
Memilih tema dalam Leadership Camp dan outbound ini melalui sebuah rute perjalanan dalam satu tahun,
memilih dan memilah kompetensi apa yang masih perlu ditingkatkan oleh
anak-anak. Integrasi proses pembelajaran terwujud dalam disain kegiatan, tempat
baru, suasana baru, pengalaman yang selalu baru.
Pemilihan tempat,
persiapan yang tidak asal jadi, dan semua diperhitungkan dengan resiko-resiko
yang kira-kira. Lahirnya generasi yang memahami diri, Tuhan, dan sekitarnya
menjadi sesuatu yang nyata, Insha Alloh!