(Kali ini mencoba nulis serius )
Berbagi
kebahagiaan dengan orang lain adalah perbuatan yang mulia. Memberi santunan
kepada fakir miskin adalah anjuran agama. Bersedekah dan beramal adalah wujud
rasa syukur yang sebaiknya hanya antara hamba dan Tuhannya.Di negeri ini banyak
orang yang berniat baik dan sudah mewujudkan kebaikan itu. Namun, segala niat
baik itu akhirnya berwujud antrian sangat panjang, berdesakan, terinjak-injak,
pingsan, bahkan kehilangan nyawa para penerima kebaikan tersebut.
Mari
kita lihat kembali beberapa kejadian yang ditayangkan di televisi maupun yang
dimuat hampir di semua surat kabar di negeri ini. Pelaksanaan pembagian zakat,
pembagian hewan qurban, hingga acara Open
House dengan Presiden telah melahirkan realita yang memilukan. Terlepas
dari sisi politik yang kadang dibahas secara detail di media elektronik, telah
menjadikan moment-moment tersebut melenceng dari niat baiknya. Akhirnya, yang
terlihat adalah betapa banyaknya warga Negara ini yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Atau bahkan yang sangat disayangkan adalah budaya menadahkan tangan
akhirnya terjadi setiap tahun.
Bagaimana
kalau pemandangan itu kita minimalisir dengan mengubah cara pandang kita? Dengan
berlogika terbalik bahwa kondisi “miskin” yang dirasakan setiap orang sebagai
kondisi yang selalu kekurangan, dirubah cara pandangnya menjadi kondisi yang terhormat
dan bermartabat? Dengan demikian, si kaya akan benar-benar memuliakan si miskin
dengan mengulurkan tangan kanannya untuk memberi tanpa diketahui oleh tangan
kirinya. Begitu pula si miskin, akan merasa dimuliakan, karena kondisi
kemiskinannya tidak membuatnya harus menadahkan tangan.
Saya
berpikir, ketika membaca spanduk yang dipasang di jalan-jalan dengan kalimat
kurang lebih bermaksud seperti ini: “Memberi uang kepada anak jalanan,
pengamen, dan sejenisnya berarti membantu kemiskinan di negeri ini”. Atau
dengan kalimat singkat: ”Anda memberi, menyuburkan kemalasan”. Bagi saya,
spanduk yang dipasang itu sebenarnya bukan sekedar larangan atau sekedar
himbauan. Menurut saya, spanduk itu mengajarkan banyak hal diantaranya: Jangan
bangga menjadi pengangguran, berusahalah untuk memperbaiki kehidupan, hargailah
diri dengan prestasi, dan sampaikanlah kebaikanmu pada tempat dan kondisi yang
benar. Dengan berlogika terbalik, buatlah spanduk dengan tulisan: “Gemah ripah
loh jinawi, hasil karya setiap warga di negeri ini”. Amin …
Berlogika
terbalik dalam kondisi kekurangan, sama halnya dengan melatih sikap positif
dalam setiap hal dan kondisi. Jika hidup membutuhkan kebiasaan, maka biasakanlah
diri bersikap positif. Karena sikap itu yang akan memberikan rasa tangguh dalam
menghadapi segala kondisi. Sehingga ketika seseorang sedang berada pada posisi
si kaya, ia akan membiasakan dirinya tangguh dalam kekayaan dan tidak akan
sulit baginya untuk berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain. Dan suatu ketika
saat berada dalam posisi si miskin, ia akan membiasakan dirinya tangguh bekerja
keras untuk tidak terpuruk pada kondisi ini. Berpikir positif menjadikan orang
cerdas dalam mencari jawaban atas peristiwa yang dialami.
Hampir
sempurna pelajaran menjadi warga yang merasa “kurang” di Negeri kaya ini.
Bayangkan saja, dari masa penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang yang
ingin mengambil kekayaan segala sumber daya di negeri tercinta ini. Kemudian dilanjutkan
dengan perpecahan di negeri sendiri dengan beragam sebab. Misalnya; keinginan
suatu daerah lepas dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), merasa tidak
cocok dengan Pemimpin, akhirnya “memberontak” bahkan sampai “menggulingkan”
kekuasaan, dan lainnya. Yang tidak ditolak adalah ketika Tuhan member pelajaran
kepada kita dengan menunjukkan feomena alam yang berwujud “bencana” yang sudah
rata dialami semua provinsi di Negara kita. Masih kurangkah pelajaran tersebut?
Setelah
melihat ulang kejadian yang memilukan, kita coba pelajari beberapa peristiwa
yang adem-ayem saat niat baik berbagi
rezeki itu terjadi. Ketika sebuah daerah mengalami bencana alam, mereka harus kehilangan
harta benda dan kehilangan keluarga.
Kemudian di saat yang sama mereka harus memilih meninggalkan harta benda
untuk menyelematkan diri dan bertahan hidup dalam pengungsian.
Perasaan
senasib sepenanggungan pada setiap jiwa, ternyata melahirkan keeratan hati.
Sebagai wujud yang indah terciptalah kerja sama, jiwa saling menolong, saling
melindungi, dan kepedulian banyak pihak menjadi pemandangan yang sungguh
menyentuh. Para dokter rela meninggalkan tempat nyamannya untuk bersama-sama
memberikan manfaat. Jiwa-jiwa relawan muncul dan memberikan pelayanan terbaik
kepada para korban. Dan masih banyak lagi kebaikan yang terlahir dalam kondisi
tersebut; penggalangan dana yang dilaksanakan hampir semua elemen masyarakat.
Sepertinya “perasaan senasib sepenanggungan” menjadi kunci bahwa rasa “miskin”
itu menjadi tiada.
Pada
peristiwa lain kita juga bisa kita pelajari (maaf sedikit berpolitik). Ketika
masa pemilihan pemimpin, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/ kota
madya, provinsi, sampai Negara ada istilah “serangan fajar” muncul mewarnai
panggung kehidupan tersebut. Dari sisi positif, para calon pemimpin tersebut
ingin berterimakasih kepada para pendukungnya yang bersedia mempercayakan
tampuk kepemimpinan tersebut di pundaknya. Hasilnya, saat penyaluran niat baik
itu tidak perlu antrian panjang dan tidak menyebabkan adanya korban
terinjak-injak apalagi kematian. Mungkin karena sikap menghargai yang
diciptakan oleh calon pemimpin tersebut, dengan memberikan bantuan secara
sembunyi-sembunyi itulah yang meminimalisir korban. Jika ada masalah yang
muncul, lebih ke pertanggung jawaban individu bukan?
Dari
beberapa peristiwa tersebut, ada baiknya cara penyaluran zakat dan daging
kurban atau semacamnya ditinjau kembali cara penyalurannya. Yang saya ketahui dengan
cara orang desa, mereka membuat kepanitiaan yang bertugas mengurus dari awal
hingga penyalurannya ke rumah warga yang diantarkan secara langsung. Sistem
kedua yang saya pelajari selama menjadi panitia penyaluran zakat dan semacamnya
di sebuah lembaga pendidikan di Surabaya, panitia yang terdiri dari guru dan
murid tiga hari sebelum pelaksanaan kami menjelajah area untuk membagi kupon
kepada yang berhak menerima. Saat pelaksanaan kami sudah perhitungkan waktu dan
jumlah kupon yang disebar agar tidak terjadi antrian panjang. Alhamdulillah,
dengan cara ini kami sukses selama Sebelas tahun sampai saat ini.
Mungkin
saya terlalu sederhana mencontohkan dengan skala pengalaman di atas. Saya
berpikir, ketika penyaluran itu akan dilaksanakan (tanpa mengetahui realitas
yang sesungguhnya) dalam lingkungan yang lebih luas, maka kepanitiaan yang
professional dan memadai, perhitungan waktu dengan kuota yang dipastikan, serta
adanya kerja sama yang baik dalam lingkungan tempat tinggal, maka antrian
panjang dan pemandangan memilukan tidak akan terlihat lagi. Istimewa, jika
panitia tersebut bisa mengantarkan langsung di tempat tinggal penerima sedekah.
Semoga Jakarta dan kota besar lainnya berlogika terbalik dengan peristiwa ini.
Wujudkan bersama!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar