ANTI BIROKRASI YANG SANGAT NASIONALIS
Bertemu dengan seorang musisi kondang Mas Slamet A. Sjukur
adalah sebuah anugerah. Kami dipertemukan beliau dalam sebuah gambaran
pendidikan yang berkualitas. Saya sebut demikian, karena beliau mendengar
cerita Sekolah Alam dari Pak Martasi dan langsung ingin dating berkunjung. Kerinduan
pada sebuah suasana pendidikan yang asri, akrab, dan penuh persahabatan
ditemukan di Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya.
Kedatangan beliau pertama melahirkan banyak pertanyaan yang
bisa dijadikan sebagai bukti “Kehausan Ilmu” meski beliau sudah melanglang
buana ke beberapa Negara. Sikap nasionalisme yang tertanam dalam diri Mas
Slamet membuat beliau ingin menyelamatkan bangsa ini dari system yang mbulet
dan kadang “tidak masuk akal”.
Hadiah kecil buku Kelasku Laboratorium Kehidupan, membuat
beliau terkesan dengan isi yang sederhana namun menggambarkan suasana yang
begitu bersahaja. Sebagai penulis, saya bangga mendengar tanggapan beliau. Di sisi
lain, saya harus berusaha untuk melanjutkan sekuel buku KLK episode selanjutnya.
Bertandang ke kediaman mas Slamet PASTI akan banyak ilmu
yang kami dapatkan. Duo Kanjeng (Saya dan Wuri) siap berguru dan berbagi
cerita. Hujan tidak hadir kemarin, membuat kami segera menemukan alamat yang
diberikan.
Rumah di tengah kota, bertetangga yang cukup padat, gang
kecil, membuat saya pribadi berpikir bahwa Mas Slamet PASTI memiliki sisi
kepribadian unggul. Ketika kami agak bingung dengan parker sepeda motor,
seorang ibu datang dan mempersilakan untuk parker di depan rumah beliau.selanjutnya
si ibu mengarahkan kami ke rumah mas Slamet, “Lurus saja sampai ujung mbak,
nanti di atas pintu itu ada belnya. Pak Slamet piano kan?”. “Iya Bu, matur
suwun”, aku menjawab si Ibu baik hati.
Kami mengamati bel yang dikatakan si Ibu. Ada beberapa
tulisan “BEL” untuk memberi informasi kepada siapa saja yang ingin bertamu. Aku
memegang tali bel dan kutarik. Pada tarikan ketiga aku mendengar langkah kaki
mendekati pintu.
Wajah bijak itu muncul, “Oh, Mbak Hamdiya… ayo masuk”. Aku segera
mencium aroma klasik dan menemukan beberapa benda yang tidak bisa kuhitung
berapa lama benda-benda itu ada di sana. Buku-buku yang sampulnya sudah mulai memerah.
Jam bandul yang sangat elegan, dan piano akustik besar. Ya! Dengan piano itulah
Mas Slamet berdiskusi setiap saat.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Pertama kali
bertemu dengan beliau aku merasakan energy yang luar biasa. Semangat pantang
menyerah dan “Inilah Saya” begitu kuatnya. Apakah karena beliau juga cacat kaki
seperti abahku yang membuatku merasa begitu dekat. Atau bahkan pancaran
semangat itu yang selalu kukenal dari Abahku. Bahagia dan selalu ingin berbagi
cerita.
Setelah kami duduk, aku langsung diberi beberapa lembar
kertas. Lembar pertama berisi fotokopi tulisan opini Mas Slamet tentang
pendidikan. Satu bendel lagi tentang partitur pementasan music dengan alat
kentongan atau alat yang terbuat dari bambu.
Pembicaraan kami mengalir sangat lancar. Mulai dari
pengalaman kami masing-masing. Kami berlima, Mas Slamet, Mbak Gema, Wuri, aku,
dan Mas …. (maaf aku lupa namanya), padahal nama ini disebut berkali-kali,
entah … aku bisa lupa.
Pribadi yang luar biasa, kuat, dan idealis. Itu gambaran
yang kulihat pada setiap kalimatnya. Beliau menghafal hampir seluruh isi buku
Kelasku Laboratorium Kehidupan itu diluar dugaan. Beliau membeli 8 eksemplar
buku dari Toga Mas Diponegoro. I am speechless. Memandang kagum
semangat dan impian akan sebuah iklim pendidikan yang luar biasa.
Disela diskusi kami melakukan praktek sebuah karya
pementasan beliau yang bertajuk “100 ABG BABU”. Karya besar seorang musisi
besar bisa kami nikmati secara gratis. Kami praktek melakukan tepukan dengan
panduan partitur yang diciptakan beliau. Naskah pementasan spektakuler yang
sudah pernah dilakukan di Jakarta. Dan kami, DUO KANJENG akan melakukannya di “negeri”
kami.
Adzan maghrib terdengar, kami harus segera mengakhiri
diskusi kami. Semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dengan semangat yang
lebih baik lagi untuk mempersembahkan karya terbaik.
Sampai jumpa lagi J