Perang hari ini sebenarnya cukup berat. Baru kali ini aku
mengalami kerugian yang tak ternilai, “tidak makan sahur”. Ketika bangun sudah
terdengar adzan Subuh. “Astaghfirullahal Adzhiim”, segera aku diskusi dengan
tubuhku agar hari ini ia kuat dan sehat.
Setelah sholat Subuh aku berjuang untuk tidak tidur dan
tidak malas-malasan. Aku keluar untuk merasakan energi alam semesta. Luar
biasa!!! Aku tak dapat gambarkan melalui kata, karena itu tak cukup mewakili
keindahan pagi ini. Aku bercanda dengan penduduk di taman Saraswati. Sungguh
luar biasa, langit begitu cantik, batang pohon trembesi sangat indah bagai
lukisan alam kulihat dari cermin air.
Ujian kesabaran dan keikhlasan dimulai. Semua tugas sudah
menumpuk dan harus diselesaikan dengan baik. baiklah, aku akan selesaikan.
Konsentrasi kufokuskan pada tugas agar segera selesai. Sangat indah, karena
beberapa teman juga bersaing kesibukan. Kami mengerjakan dengan lelucon konyol
dan cerita yang membuat kami ngakak. Terima kasih, antioksidan tertawa ini
mujarab.
Jum’at pertama dalam Ramadhan. Kami menyelesaikan tugas
dengan baik. dengan segala keunikan cara kami dalam menyelesaikannya,
sepertinya kami memenuhi syarat untuk dibawa ke RS Menur. Hahahaha ...
Perjalanan panjang akan kumulai dari angkot menuju rumah
syurgaku. Setiap kali naik kendaraan umum sebenarnya aku lebih banyak
menyiapkan diri untuk berbagi dengan ketidaknyamanan dan bahaya. Menenankan
diri dengan memakai masker, menghindari asap rokok, dan kupejamkan mata
merasakan perjalanan.
Biasanya aku sampai tertidur, tapi kali ini tidak. Aku
terjaga dan tak tertidur sekejap pun. Hari ini memang tidak semua orang puasa,
kulihat warung-warung masih normal. Para pembeli juga masih nyantae menyantap
makanan. Para lelaki masih bebas menebarkan asap rokok mereka tanpa ragu.
Aku mengamati perjalanan hari ini tanpa si Kirei kamera
Canonku. Aku sengaja tidak membawanya, karena aku hanya ingin menikmati pelajaran dalam perjalanan
kali ini. Diantara kepadatan kendaraan, aku masih melihat pengendara motor yang
tidak memakai helm. Mereka sangat berani bernegosiasi dengan kecelakaan.
Sebagai orang yang sudah mengalami kecelakaan hingga 2 kali,
aku sangat tahu arti penting helm. 2 kecelakaan aku alami tanpa helm. Tulang
pipiku retak, hingga membuat pipiku tak simetris lagi. Kecelakaan terakhir 3
hari lalu aku berteman helm. Itu sangat membantu. Benturan di kepala yang
membuatku pusing 2 hari, itu pelajaran yang sangat berharga.
Oke, aku lanjutkan perjalanan berikutnya. Aku harus ambil
angkot lain untuk melanjutkan perjalanan menuju desa. Di perempatan aku melihat
anak-anak bebas berkeliaran bermain. Padahal saat itu kendaraan juga tak ada
sepinya. Seorang gadis kecil menyapa seorang Bapak, “Pak, punya korek?”... aku
kaget mendengar pertanyaan gadis kecil itu.
Si Bapak hanya melihat gadis itu dan berlalu tanpa peduli.
Ada dua bocah laki-laki yang berusaha memasang ban untuk ayunan di sebuah
pohon. Si gadis ditemani seorang gadis kecil lagi berlarian sambil teriak
kepada siapa saja yang ditemui, “Punya korek api?”. Aku berpikir,
“Jangan-jangan menyalakan petasan”?
Tak lama kemudian, dua gadis itu membawa putung rokok. Ia
berteriak memanggil teman lelakinya, “Hei, iki rokok ... bisa dipakai”. Si anak
lelaki memanggil teman lain. Tepat seperti dugaanku, mereka mencari tempat
untuk menyulut ... dan .... dor dor dor!!!!. Mereka tertawa terbahak, kemudian
berlalu dengan santainya. Dalam sekejap, mereka kembali berhamburan di jalanan.
Oooohhh .... negeri apa ini? Mengapa aku bisa tinggal di sini???
Perjalanan berlanjut, akhirnya angkot memasuki terminal.
Saatnya berganti bus mini untuk rute terakhir. Aku melihat bus itu sudah penuh
sesak, namun aku tetap harus masuk. Jika aku tidak naik bus ini, maka aku akan
semakin malam. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Baiklah, ujian
kesabaran berikutnya akan dimulai.
Hmm, beberapa lelaki sudah berjajar dengan tangan
menggelantung di besi tengah sebagai pegangan. Dengan sangat terpaksa aku harus
berada diantara mereka, ini yang paling tidak kusuka. Tapi aku akan semakin tersiksa
jika mengeluh. Aku segera memakai maskerku, meletakkan tasku di depan dada,
menenangkan diri, dan tetap siaga.
Suara lelaki di belakangku menawarkan tempat duduk kosong,
namun ada suara perempuan yang berkata: “Ini ada penumpangnya, dia seorang ibu
sudah menunggu di pintu keluar”. Aku tidak perlu masuk dalam perbincangan
mereka, pikirku. Aku hanya diam dan melafalkan segala yang kubisa untuk tetap
tenang.
Bus semakin penuh sesak, dalam hati aku ingin mengingatkan
sang Kondektur kalau tanggung jawabnya besar. “Membawa dan menjaga jiwa para
penumpang”. Namun, para penumpang yang ingin segera pulang sepertiku juga
kurang peduli dengan kondisi ini. Aku rasakan mulutku semakin terkatup.
Akhirnya aku memilih menutup mataku dan bermeditasi dalam keadaan berdiri.
Setelah 20 menit perjalanan, pak Kennet meminta uang kepada
para penumpang. aku bersiap membuka mata dan menunggu giliran. Seorang pemuda
yang sedari tadi duduk di samping aku berdiri menawarkan tempat duduk, “Mbak,
silahkan duduk di sini”. Aku hanya memberi kode tidak dengan tenganku dan
menunjuk ibu-ibu yang berdiri di depanku.
Hmm, tapi pemuda ini tidak mengerti atau kurang peka, aku
tak mau tahu. Adzan maghrid terdengar sayup, aku berkata dalam hati; “Selamat
berbuka puasa bagi semua saudaraku yang menjalankan ibadah puasa hari ini.
Semoga puasa penuh berkah dan menjadi pelajaran indah. Amiin”.
Setelah membayar, aku kembali menutup mata dan melanjutkan
meditasi. Segala percakapan para penumpang, komentar dan canda tawa mereka
kudengar dan kuabaikan. Aku hanya ingin menikmati perjalanan ini dengan caraku.
Separo perjalanan sudah kurasakan, aku tetap diam dan menikmatinya.
Adzan Isya’ terdengar, hmm ... perutku juga sudah mulai
bicara. Tidak jadi masalah, aku kembali berdiskusi dengan perutku. Semoga maag
tidak sudi mengahampiriku. Alhamdulillah, akhirnya aku mendpatkan tempat duduk
setelah satu jam setengah berdiri diantara para penumpang.
Saat rute memasuki hutan “Australia”, aku menyebutnya begitu
... hehehe ... kami dikejutkan dengan benda putih yang berceceran di tengah
jalan. “Apakah itu manusia?”, tanya Kondektur. “Kennet, turun dan periksalah”,
Kondektur meminta. “Waduh, bagaimana kalau itu manusia?”. Dengan sedikit ragu
pak Kennet turun dan memberi inifo, “Ini adalah tanah dolomit, ayo kita lanjutkan
perjalanan”.
Akhirnya kami semua lega. Hmm, aku sudah tidak memejamkan
mata lagi. Karena perjalananku tinggal sebentar. Alhamdulillah, tepat pukul
19.15 WIB aku turun dari bus. Jalanan sepi, setiap mushollah sudah terdengar
suara jama’ah tarawih. Allah SWT, terima kasih atas plajaran hari ini. Sungguh
luar biasa.