Setiap kali aku ingin pulang lebih cepat seusai berkolaburasi dengan anak-anak di kelas, aku hampir belum pernah berhasil. Adaaa saja yang membuat langkahku terhenti.
Terkadang aku harus memilih pulang terlebih dahulu, jika memang kondisi mengharuskan aku pulang lebih cepat.
Ada anak yang dijemput terlambat, ada yang mengajak main, atau sekedar ingin berbicara.
Hmmm, sebenarnya si, menurut pikiran dewasaku itu "gak penting-penting" amat sih. Bagaimana penting menurut orang dewasa, mereka hanya ingin cerita tentang hewan peliharaan, film kartun baru, atau bahkan sekedar ingin ditemeni tanpa harus bercerita.
Seperti sore ini. Aku sudah siap mengayuh sepeda ontel merah-putihku. Hampir melewati pintu gerbang, seorang siswa laki-laki kelas 10 nyamperin.
"Miss, anter aku pulang yuk"
Sambil tersenyum aku menjawab,
"Ya, seharusnya kamu yang anter aku pulang"
Dia naik diatas sepeda Merah-Putihku, dan bicara tentang kendaraannya.
Aku hanya berusaha bincang sederhana, mengapa dia belum pulang, dan apa saja yang sudah dilakukan hari ini.
Akhirnya dia mengikutiku keluar pagar sekolah.
Setelah hampir melintasi gerobak tukang bakso, sekumpulan anak muda (mereka menyebut diri mereka sendiri), anak SMA kelas 11 menyapaku.
"Hallo Nyonya Besar?"
Spontan aku tertawa, "Wah, nyonya besar", adaaa saja.
Kupanggil salah satu nama dari mereka, akhirnya dia datang.
"Miss, I am in a bad mood today"
"Hmm, emang kamu ada masalah apa?"
"ENggak sih, hanya kemarin aku jatuh dari motor dan efeknya gak tau sampai sekarang"
Dengan wajah terlihat sedikit murung, dia menyalamiku.
"Hmmm, kamu pengen minum tah?"
Aku berusaha menawarkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan.
"Aku sudah punya minum", dia menjawab lesu
Akhirnya aku duduk di warung, membeli sebotol minuman ketika Adzan terdengar.
Ternyata dia mengambil minumannya dan duduk di sebelahku
"Ada apa sih? Kacau banget tu muka!"
Aku mencoba membuatnya seperti teman.
"ENggak tau, mungkin karena kemarin jatuh"
Dia tetap menjawab dengan jawaban yang sama.
Seorang temannya muncul di hadapanku dan bersaliman.
"Adzan sudah terdengar, kita sholat yuuuk"
Aku mengajak mereka yang sedang asyik menikmati es jeruk.
Tak kuduga mereka menjawab, "Yuuuk"
Akhirnya aku ambil mukenaku di dalam tas dan kulangkahkan kaki kembali masuk gerbang.
Mereka mengikutiku. Aku sangat bahagia, karena tidak semua anak seusia mereka kelas 10 dan 11 kawan!
"Yuk, siapa yang akan jadi Imam?"
"Aku Miss", salah seorang dari mereka iqamah dan akhirnya kami berjama'ah.
Aku sangat bersyukur meski kepulanganku sangat terlambat.
Karena pada waktu inilah, mereka butuh teman. Meski kadang ada yang nyeletuk.
"Aku ini gak pengen curhat, tapi aku juga seneng kalau bisa bicara dengan Miss Hem"
Aku hanya tertawa. Akhirnya aku menjawab
"Ya, gak perlu curhat lah ke aku. Ngobrol biasa aja!", hehehehe ... (Ya, sama aja :))"
Aku sangat menikmati waktu bersama mereka. Alhamdulillah, Play Group, TK, SD, SMP, SMA ... Mereka sangatlah berbeda.
Hanya satu yang sama ketika mereka berhadapan dengan "guru".
Mereka anak-anak dan senang kalau didengarkan.
Love you all Guys! Kalian semua selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali ;-)
Jumat, 29 November 2013
Minggu, 24 November 2013
GURU Pengemban Amanah Jiwa, Bukan Sekedar Raga Tak Ber-Asa.
We Sing For You at NET.tv malam ini membuat saya tergetar.
Tema yang mereka hadirkan adalah GURU.
Mereka memberikan apresiasi kepada guru di Sekolah Alam Tunas Mulia. Sekolah anak-anak pemulung, dimana mereka harus dibujuk dan disadarkan agar merasa butuh dengan pendidikan.
Orang tua pemulung, tidak menginginkan anak-anak mereka kelak menjadi pemulung!
Acara didisain sangat bagus.
Menghadirkan tiga alumni yang sekarang sudah menikmati bangku kuliah di Universitas Jayabaya.
Para guru itu dibayar tanpa standar UMR, apalagi slip gaji tunjangan.
Yang membuatku bangga, karena tim kreatif mereka semua anak-anak muda.
Mereka adalah pribadi-pribadi yang belajar berterimakasih dan menghargai.
Kita jadi bisa, menulis dan membaca, karena siapa ....
Kita jadi tahu, beraneka bidang ilmu, dari siapa ...
Kita jadi pandai, dibimbing Pak Guru
Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru
Guru bak pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara ........
Bait lagu ini, terasa seperti cermin terbesar yang menghadirkan pertanyaan kepada saya.
Apakah benar saya sudah layak disebut guru?
Sudah yakinkah, bahwa jalan guru ini adalah jalan ibadah saya?
Dan, sudahkah saya berikan yang benar kepada murid-murid saya?
Guru tidak sekedar membacakan ulang informasi!
Guru tidak sekedar meminta murid melakukan tugas!
Guru tidak sekedar punya hak mengajari!
Guru tidak sekedar punya hak menghakimi!
Dan guru, bukan sekedar pribadi yang ikut test dan diterima di sebuah instansi pendidikan yang bertugas untuk menemani. Siapapun bisa menjadi guru. Dan menjadi pribadi yang DIGUGU dan DITIRU butuh mengamalkan ilmu.
Di Sekolah Alam Tunas Mulia, seorang kakak kelas yang sedang duduk di bangku SMA, ikhlas menjadi guru bagi adik-adik kelasnya. Ketika ia ditanya, mengapa ia mau memilih membimbing adik-adiknya, ia menjawab:
"Saya anak pemulung, dan saya ingin kami semua tidak jadi pemulung. Kami ingin menikmati belajar di jenjang yang lebih tinggi dan menggapai cita-cita kami"
Seorang guru ditanya, mengapa Ibu memilih menjadi guru di sini. Beliau menjawab:
"Mereka adalah anak-anak yang tidak sekedar butuh diajari. Kami juga memberi mereka KASIH SAYANG dan KETULUSAN MENDIDIK kepada mereka.
Saya terdiam, melihat kembali ke cermin terbesar. Dan jawabannya adalah,
"Aku belum punya kepribadian itu. Masih jauuuuuuh... "
Membayangkan diri mampu seperti cerita di syair lagu JASAMU GURU
Guru Bak PELITA, PENERANG dan gulita
Jasamu tiada tara ...
Presiden, tentara, dokter, pengacara, dan semua ... mereka pernah bersekolah.
Pertanyaan dua sisi mata pedang selalu hadir ....
Jika mereka mampu amanah, itu kebahagiaan tiara tara ...
Jika mereka berbalik arah? Siapakah yang salah?
Astaghfirullahal Adhim ...
Terima kasih kepada para orang tua wali murid yang percaya kepada kami para guru.
Anda semua juga lebih dari guru. Bahasa kalbu, bahasa cinta, bahasa kasih, bahasa sayang anda semua ...
Yang mampu menghadirkan kehangatan dan kecerdasan. Kearifan dan kebijaksanaan, kesholehan dan jalan lurus
Kami para guru akan menjadi teman dan saudara untuk bapak dan ibu
Untuk semua saudara, sahabat, teman seperjuangan dalam mengemban amanah GURU.
Mari bersyukur dan berbangga ... Bahwa kita bukan sekedar agen perubahan.
Kita adalah PELITA KEHIDUPAN
Mari tingkatkan kepribadian DIGUGU dan DITIRU
Mari saling BERLOMBA DALAM KEBAIKAN
Mari jadikan amanah adalah ibadah
Allah SWT Maha Kuasa atas Segala Sesuatu
Kita tidak akan pernah kekurangan
Kita tidak akan pernah terabaikan
Karena kita mengemban amanah belajar bersama JIWA
Bukan hanya raga tak berasa.
Kamis, 07 November 2013
STUDENT ORIENTATION GATE
The first time I was trusted to be the first grade
teacher, I needed to conquer the second to forth grade laboratory as well as
the middle school level. The biggest
preparation that I had to make was to prepare my own heart. I needed to empty my heart from all the pride
of my past experience as a teacher. I
knew that I was going to learn a lot about patience, understanding children’s
language to express their needs and desire, and dealing with problems through
their eyes.
Student orientation was the first gate to get to
know my new students. When I guided my new laboratory crew to line up in the
school yard, I saw a long-haired child, but this child was standing in the
boy’s line, so I approached the child from behind.
“Hey, girls should move to the girl’s line, okay?”
I said to this child.
But what happened was, he cried and screamed. I was confused, have I done anything wrong? I
thought. My partner came near me.
“This child is a boy,” he whispered.
“Excuse
me?” I couldn’t say a word because I was surprised and felt really guilty. I decided to come to him, hold him, and
apologize to him.
“I am
sorry, I didn’t know.” He still cried,
hmm … what am I going to do?
My partner tried to help, but we didn’t
succeed. Then a father came to approach us.
“Is
everything alright, teacher?” he asked.
“I am sorry, Sir, I didn’t know that he’s a boy.”
I replied
“Oh, it’s alright, Teacher, let me calm him down,
I’m his father.” I just nodded, the
father picked up the long-haired boy and went out of the line.
“Hmm … the father also has very long hair.”
Jumat, 01 November 2013
I DON’T WANT TO BE A TEACHER!
I dreamed
of becoming a Muslim lawyer. Because of
that, I chose to major in criminal law politics (Siyasah-Jinayah) at Institut Agama Islam Negeri.
But,
there were some things I could not help to resist. One, was when I joined in a Non-Governmental
Organization (NGO) specializing in education.
When I had an internship at District Court and Religious Court, I
started to rethink the choice I made.
Was a profession in law field really something that I wanted?
After
graduation, a friend informed me about a job vacancy as a teacher. Unconsciously, I went right ahead and
prepared all the documents needed and my friend helped to mail my application. The next story is going to be in the opening chapter
of this book.
Now, I
am a teacher. I have a dream to travel
the world as a teacher. It is wonderful
to be able to share experiences and culture with other teachers around the
world.
Living
in a family of teachers had probably charged me with incredible energy in
finally becoming a teacher. My father was a teacher, my mother taught in a
kindergarten in the village. Two of my
older siblings are teachers. One of my
younger siblings was also a teacher. It didn’t
come as a surprise, when I decided to become a teacher. It seemed that my youngest sister is going to
be a teacher too. Shocking, right? …
Luckily,
when I was in sixth semester of my university years I joined with HEF (Human
Education Foundation) that worked together with Plan International. This is the NGO I talked the about in the
early paragraph. The activities I had in
the organization had given me the knowledge on how to develop curriculum, make
handouts, plan learning methods, innovate and dare to step up to many challenges.
To this
day, I have had many chances to share experiences. Becoming an outbound
trainer, a key speaker at seminars and workshops, a speaker in radios, an
English trainer, as well as a trainer on leadership, all of those had provided
me with happiness.
I have
never dreamt of being a teacher. But
Allah SWT has trusted me to be one. I
enjoy this profession as the means for me to serve and worship Allah and to always
learn, learn to be more patient, more considerate and have more understanding
of children’s innocent souls.
I was destined to be a teacher, it was for myself and I
dedicate my worship and service to the Master of All Masters. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)