Sebenarnya siapa sih GURU itu?
Rektor dan seluruh jajarannya?
Kepala sekolah dan seluruh stafnya?
Ustadz dan ustadzah?
Para pemuka semua agama?
Guru ngaji, guru
spiritual, guru les, dan semua yang secara legitimasi masyarakat disebut guru secara
formal?
Apalagi ketika program sertifikasi sudah menjadi angin segar
untuk memperbaiki “kehidupan” guru, maka banyak universitas keguruan yang
didatangi calon mahasiswa. Program pelatihan semakin semarak , dan perjuangan
menjadi guru semakin meningkat. Sungguh menakjubkan!
Saya jadi ingat salah satu judul di salah satu bab buku
Kelasku Laboratorium Kehidupan I. “Aku Gak Pengen Jadi Guru”.
Alasan saya terlalu sederhana ketika itu. Karena abah, emak,
kakak perempuan, dan kakak lelaki saya sudah jadi guru. Maka, saya akan menjadi
pribadi yang lain.
Atau bahkan, karena gaji guru yang tak pernah mampu
menyaingi gaji para pekerja profesi kantoran saat itu.
Bahkan, bisa jadi karena tetangga saya pernah mengolok
dengan pertanyaan:
“Kamu kerja apa sekarang?”
“Saya jadi guru”
Dengan senyum kecut, dia menjawab:
“Ooooh, guru tho!”
Saya memilih nyeleneh dari keluargaku, masuk di
perguruan tinggi Islam jurusan Hukum Pidana Politik! Byuh! Sepertinya
menjanjikan materi dan banyak kesempatan.
Namun, semua itu terkubur hanya karena ada beberapa praktik
hukum yang saya saksikan sangat meresahkan hati dan jiwa saya.
Menapaki profesi guru mulai dari lingkungan”kumuh”, kelas
mengah ke bawah yang setiap harinya saya dengar suara teriakan para orang tua
mengingatkan anaknya untuk berhenti bermain. Tangisan si anak yang akhirnya
kena pukulan sang ayah, dilanjutkan nasehat si ibu hampir tanpa henti.
Saya pernah menjadi guru di sebuah desa kecil, desa saya
sendiri dengan fasilitas minimalis. Hanya berbekal kemampuan bahasa Inggris
yang secukupnya, saya berusaha berbuat yang terbaik.
Saya pernah menjadi pemateri di hadapan pegawai negeri
eselon II dan eselon III dari wilayah Indonesia Timur. Mereka semua
pribadi-pribadi pandai dan berkantong tebal.
Saya pernah berbagi dalam komunitas ibu-ibu rumah tangga,
yang lugu dan mendengarkan dengan seksama setiap pembahasan diskusi kami.
Saya juga pernah berbagi pengalaman di hadapan para guru di
Indonesia bagian timur, tengah, dan beberapa kesempatan.
Saya sudah berkecimpung di dunia pendidikan dan dipanggil
ustadzah di sebuah sekolah yang berani berbeda. Membimbing anak-anaknya pada
kehidupan nyata, teori yang selalu baru karena anak-anak langsung diajak ke
lapangan kerja.
Memanusiakan manusia, menghargai jiwa anak dengan segala
keunikannya, dan terlalu banyak jika saya jelaskan dan saya urai satu per satu
apa yang sudah kami lakukan bersama.
Apakah pengalaman ini membuat saya sudah layak disebut guru?
Saya bukan apa-apa, karena sebutan GURU ini akan menjadi embel-embel
saja ketika;
Jika saya tak mampu memahami keinginan mereka,
Jika saya tak mampu mengerti jiwa mereka,
Jika saya hanya memaksakan apa yang ingin kuajarkan kepada
mereka,
Jika saya menolak keberadaan mereka,
Jika saya berlaku hanya dengan “prasangka”,
Jika saya tak berpikir apa yang akan menimpa mereka,
Jika saya tak mampu menerima kekurangan mereka,
Jika saya tak mampu mengembangkan kelebihan mereka,
Jika saya memberikan informasi yang seadanya untuk mereka,
Jika saya hanya bicara tanpa mampu menjadi contoh mereka,
Jika saya hanya duduk diam menyaksikan mereka bekerja,
Jika saya mengeluh karena merasa terbelenggu,
Dan …. Masih banyak
lagi hal-hal yang tak saya sadari bahwa ,
Saya telah membunuh jiwa anak-anak mereka.
MENYERAMKAN!!!
Apalagi ketika bertemu dengan jiwa murni anak istimewa. Saya
dihadapkan pada sebuah kaca besar yang memperlihatkan seberapa saya sabar, ikhlas,
dan tulus.
Tidak jarang, saya harus bertindak yang sebenarnya tak ingin
saya lakukan. Ketegasan, pendekatan, intonasi suara yang menggetarkan, dan
pandangan tajam untuk menunjukkan bahwa ada sisi hidup yang harus dimengerti
anak-anak,
“Tidak semua harus terpenuhi sesuai dengan keinginan diri”
Dengan kepekaan, saya ucapkan kata maaf dan pelukan untuk memberitahu
mereka,
bahwa hidup itu berbagi, ingin memahami dan dipahami, juga
tak harus membenarkan diri sendiri.
Mengalami beberapa hal yang harus saya diskusikan dengan
wali murid adalah pembelajaran yang sangat berharga.
Masalah beda persepsi, beda tata aturan dan penegakannya
antara rumah dan sekolah, beda pemahaman sebuah kegiatan, partisipasi
pembelajaran, beda cara pendekatan dan komunikasi dengan anak, beda dalam
memberikan reward dan responsibility, dan segala macam perbedaan yang kami
miliki.
Saya belajar tentang arti kewajaran dan bagaimana
berkomunikasi. Wajar kami berbeda, karena kami beda jiwa. Setiap kepala
memiliki keunikan yang berbeda, pasti cara pandang dan pemikiranpun berbeda.
Apalagi pengalaman dan pengetahuan yang berbeda.
Namun, sejatinya kami adalah sama. “GURU”
Sehingga, perbedaan itu yang membuat kami kaya, menjadi
saudara, dan bermakna.
Tidak jarang ada keluhan, pengharapan, sekaligus ketidak
sepakatan. Rumah pendidikan yang harus mampu menyandingkan kami kembali untuk
saling memahami arti membimbing dengan hati.
Jadi siapakah GURU ini sebenarnya, guru adalah setiap jiwa.
Tak kenal profesi dan
tempat tinggal.
Tak kenal jenis kendaraan dan merk pakaian.
Kita adalah GURU!
Tak akan bisa terhenti karena itu sudah terpatri!
Saya harus mencari lebih dari 1001 alasan untuk berhenti!
Maka, saya harus berhenti jadi guru
Jika pikiran, hati, dan jiwa saya sudah beku!
Semoga cambuk ini akan selalu menjadi pengingat saya
Mohon maaf dan terima kasih