Setelah dua hari berkutat membaca buku tentang "SUKSES dan GAGAL" aku jadi mengingat cerita masa kecilku. Begitu banyak hal yang telah kualami untuk mengerti arti gagal dan mungkin banyak orang yang akan mengatakannya sebagai sebuah "Penderitaan".
Bagaimana tidak, untuk menikmati nasi setiap hari itu belum tentu. Memiliki alat tulis lengkap saja harus membantu tetangga memungut jambu monyet, kemudian diberi upah dan aku baru akan menikmatinya dengan membeli alat tulis.
Hmmm, sebenarnya bukan karena emak dan abahku tidak punya uang untuk membeli. Tetapi kami sangat berhemat untuk kepentingan "hidup" saat itu. Itu artinya sama saja ya? Hehehehe....
Membaca buku yang ditulis Michael Lum. Y membuat aku kembali melihat sekeliling juga.
Menjadi guru sepertinya membuat aku semakin detail dalam melihat hal-hal yang "biasa" terjadi. Berkumpul dengan anak-anak yang serba berkecukupan, merupakan tantangan tersendiri dalam mengenalkan arti "gagal" dan bahkan mungkin arti "penderitaan".
Secara fisik materi, aku cukup "susah" memberi gambaran yang jelas. Meminta mereka untuk membayangkan jika suatu saat, harta benda yang mereka nikmati saat ini akan hilang ternyata agak "sulit". Hehehehe ... Mungkin karena selama ini apa yang mereka inginkan selalu terpenuhi.
Mengajak mereka ke tempat yang "melas" cukup menyentuh di tempat itu. Ketika kembali ke kehidupan normal mereka, pelajaran empati itu sedikit demi sedikit beralih.
Kertas, buku, pensil, penghapus, sandal, sepatu, tepak, dan banyak lagi benda-benda yang kembali tergeletak di lantai dan tidak ada yang "mengakuinya". :(
Ketika itu terjadi, aku kembali mengingatkan dengan bahasa yang tegas.
"Mungkin hidup kalian saat ini terlalu enak, jadi kehilangan sesuatu yang berharga menurutku saat di usia kalian. Ini bukan sesuatu yang berharga! Jika saja kalian berani mengambil keputusan untuk merelakan diri dengan hidup yang serba "terbatas" mungkin kalian baru akan berpikir untuk lebih peduli dan menjaga barang-barang kalian".
kalimatku terlalu panjang untuk penjelasan kepada anak SD kelas 5 :( (huuuuftttt ....)
Mungkin saat ini aku mengalami masa yang paling ngetrend "Galau"... hehehe ... Atau karena pada jam pertama kami sudah bermain peran dan mengekspresikan berbagai "perasaan", jadi kebawa deh!
Ya sudahlah, semoga semua yang kami lalui adalah pembelajaran yang akan membuat kehidupan kami lebih bermakna. Semoga para orang tua juga menyiapkan anak-anaknya untuk berpetualang dan merasakan berbagai kenyataan hidup.
Dalam buku Michael ditulis, ada seorang wartawan yang melakukan wawancara kepada seorang yang kaya raya, pokoknya tajir deh! Disela wawancara si Ayah mengatakan, saya ini sudah tua dan saya akan mewariskan seluruh harta kekayaan saya kepada anak saya satu-satunya. Namun, saya merasa takut? Kira-kira apa yang ditakutkan si Ayah? Ada yang bisa jawab? ...... Ditunggu ....
Senin, 18 Februari 2013
Sabtu, 02 Februari 2013
MONOLOG? AKU TIDAK SABAR!!!
"Monolog itu apa sih?", Farrel sudah tidak sabar untuk
mendengarkan penjelasan arti kata monolog. Yap, kami sedang mempersiapkan
sebuah proyek MONOLOG sebagai wujud kompetensi verbal. Kompetensi ini kemudian
disandingkan dengan kompetensi lain, kompetensi sosial yang sedang mempelajari kebudayaan
Indonesia, Akidah Akhlak yang bisa memasuki semua ruang kompetensi dengan
tujuan menemukan sisi spiritual di setiap kompetensi.
"Monolog itu sebuah pementasan tunggal, seorang aktor yang
berakting sendirian di panggung pementasan. Kali ini kalian bebas memilih, mau
jadi presenter, dalang, pendongeng, atau aktor berperan ganda.", aku
menjelaskan arti monolog tanpa melihat kamus bahasa Indonesia. :)
Fokus utama dari proyek monolog ini adalah, anak-anak menikmati
proses pembuatan naskah dengan ide mereka masing-masing yang akan dipentaskan
sendiri. Ini adalah pilihan dan proses yang cukup menantang bagi
anak-anak.
Fokus kedua adalah, kepercayaan diri dan keberanian
mengekspresikan ide cerita dalam sebuah pementasan nyata.
Fokus ketiga adalah, anak-anak mampu belajar secara integrated dengan segala kemampuan yang mereka miliki. meramu informasi, menuangkan menjadi ide naskah, melatih keberanian, memilih tema, dan banyak lagi kemampuan yang diperlukan untuk siap mengahdapi proyek ini.
Pada awalnya mereka merasa bahwa proyek individu ini tidak bakal "menggetarkan nyali". Untuk
membuat menciptakan sebuah fokus, kedisiplinan, tanggung jawab, dan imajinasi yang
lahir dari diri sendiri, maka kami memutuskan untuk membuat panggung mini di
selasar kelas. Sebenarnya awal rencanaku, panggung akan dibuat di lobby. Namun,
untuk beberapa situasi yang kurang pas kami memutuskan panggung berada di
selasar kelas kami yang selalu dilewati banyak orang.
Itu berarti setiap orang yang lewat akan berkesempatan untuk
melihat karya mereka. Pentas kami lakukan juga di saat anak-anak
menikmati waktu istirahat. Para penonton boleh membawa makanan dan minuman
sambil menonton pementasan monolog kelas 5.
Proses pementasan dibagi menjadi 3 tahap. Hari pertama: Selasa, 29
Januari 2013 adalah pementasan pertama. Peserta di hari pertama terlihat cukup nervous
saat persiapan menuju panggung.
Satu demi satu para peserta mempersembahkan monolog mereka. Aku
meminta Dega untuk menjadi host atau pembawa acara pada putaran pertama ini. Aku
hanya ingin menikmati dan memberi nilai pada pementasan mereka. Cara Dega
memilih acak naskah para peserta cukup membuat tegang para penonton. Murid Australiaku
sudah terlihat tegang, berharap bahwa gilirannya masih akan lama.
Yes! Time for Didi!!! And the audience gives a thousand applause for
her! J
Selangkah demi selangkah Didi maju ke panggung. Anak-anak yang
lain siap mendengarkan. Yap! Didi adalah anak yang sangat jarang terdengar
suaranya. Kemampuan bahasa Inggris yang melebihi kemampuan berbahasa Indonesia
membuatnya ragu untuk presentasi dalam bahasa Inggris. Mungkin dia takut jika
teman-temannya tidak mengerti ceritanya. Tenang Didi, kami ini siap dengan
segala suasana. Butuh untuk berbahasa Inggris? SIAP! Butuh untuk mencangkul? SIAP!
Butuh imam Sholat? SIAP! Hehehe ….
Kalimat demi kalimat diucapkan Didi dengan cukup keras. Dia bercerita
tentang kucing yang gemuk, makan apapun yang ada dihadapannya. Ketika sampai
pada kalimat kedua yang sama, and now, I am going to eat you! Semua anak
tertawa. Akhirnya, kalimat itu menjadi kalimat yang dihafal dengan baik oleh
teman-teman Didi. Didi pun terlihat semangat bercerita.
Luar biasa, dari pementasan pertama ini aku menemukan betapa
sangat berharganya pengakuan, motivasi, dan kepercayaan yang diberikan teman
untuk teman yang lain. Membuat kelemahan teman berubah menjadi kekuatan untuk
maju dan berusaha lebih baik.
Belajar dari pementasan pertama, anak-anak di pementasan kedua
terlihat lebih siap berakting. Meski hampir semua peserta tetap memegang dan
membaca naskah, namun suara mereka sudah terdengar lebih lantang dan menguasai
panggung. Sudah ada yang berhasil memerankan dua bahkan sampai tiga tokoh dalam
sebuah naskah. Usaha membawa property pendukung cerita sudah terlihat di
pementasan kedua ini.
Pada pementasan ketiga, banyak teman yang sudah ditunggu-tunggu
ceritanya. Ifal yang terkanal dengan kelucuan dan kepedeannya benar-benar sudah
membuat teman-temannya terhibur. Farrel dengan segala pertanyaannya, telah
membius penonton dengan acting memerankan tiga tokoh dengan sempurna
untuk ukuran pementasan perdananya. Dia membuktikan rasa tidak sabar dan komentar-komentarnya tentang pementasan kawan-kawannya yang dinilai belum maksimal dalam berekspresi. Dan Farhan, tanpa naskah dia dipanggil ke
panggung bercerita tentang “NEGERI TIDAK BISA” dengan sempurna.
Sungguh luar biasa!!! Ada sih beberapa anak yang masih demam
panggung, itu kewajaran yang suatu hari nanti PASTI akan berubah menjadi sebuah
persembahan yang SPEKTAKULER!
Aku ingin mengutip kalimat bang Andrea Hirata, penulis Tetralogi
LASKAR PELANGI untuk menutup ceritaku.
Teruslah berkarya, dan karyamu yang akan mencari
jalannya sendiri!
Langganan:
Postingan (Atom)