Setiap kali aku ingin pulang lebih cepat seusai berkolaburasi dengan anak-anak di kelas, aku hampir belum pernah berhasil. Adaaa saja yang membuat langkahku terhenti.
Terkadang aku harus memilih pulang terlebih dahulu, jika memang kondisi mengharuskan aku pulang lebih cepat.
Ada anak yang dijemput terlambat, ada yang mengajak main, atau sekedar ingin berbicara.
Hmmm, sebenarnya si, menurut pikiran dewasaku itu "gak penting-penting" amat sih. Bagaimana penting menurut orang dewasa, mereka hanya ingin cerita tentang hewan peliharaan, film kartun baru, atau bahkan sekedar ingin ditemeni tanpa harus bercerita.
Seperti sore ini. Aku sudah siap mengayuh sepeda ontel merah-putihku. Hampir melewati pintu gerbang, seorang siswa laki-laki kelas 10 nyamperin.
"Miss, anter aku pulang yuk"
Sambil tersenyum aku menjawab,
"Ya, seharusnya kamu yang anter aku pulang"
Dia naik diatas sepeda Merah-Putihku, dan bicara tentang kendaraannya.
Aku hanya berusaha bincang sederhana, mengapa dia belum pulang, dan apa saja yang sudah dilakukan hari ini.
Akhirnya dia mengikutiku keluar pagar sekolah.
Setelah hampir melintasi gerobak tukang bakso, sekumpulan anak muda (mereka menyebut diri mereka sendiri), anak SMA kelas 11 menyapaku.
"Hallo Nyonya Besar?"
Spontan aku tertawa, "Wah, nyonya besar", adaaa saja.
Kupanggil salah satu nama dari mereka, akhirnya dia datang.
"Miss, I am in a bad mood today"
"Hmm, emang kamu ada masalah apa?"
"ENggak sih, hanya kemarin aku jatuh dari motor dan efeknya gak tau sampai sekarang"
Dengan wajah terlihat sedikit murung, dia menyalamiku.
"Hmmm, kamu pengen minum tah?"
Aku berusaha menawarkan sesuatu yang mungkin dibutuhkan.
"Aku sudah punya minum", dia menjawab lesu
Akhirnya aku duduk di warung, membeli sebotol minuman ketika Adzan terdengar.
Ternyata dia mengambil minumannya dan duduk di sebelahku
"Ada apa sih? Kacau banget tu muka!"
Aku mencoba membuatnya seperti teman.
"ENggak tau, mungkin karena kemarin jatuh"
Dia tetap menjawab dengan jawaban yang sama.
Seorang temannya muncul di hadapanku dan bersaliman.
"Adzan sudah terdengar, kita sholat yuuuk"
Aku mengajak mereka yang sedang asyik menikmati es jeruk.
Tak kuduga mereka menjawab, "Yuuuk"
Akhirnya aku ambil mukenaku di dalam tas dan kulangkahkan kaki kembali masuk gerbang.
Mereka mengikutiku. Aku sangat bahagia, karena tidak semua anak seusia mereka kelas 10 dan 11 kawan!
"Yuk, siapa yang akan jadi Imam?"
"Aku Miss", salah seorang dari mereka iqamah dan akhirnya kami berjama'ah.
Aku sangat bersyukur meski kepulanganku sangat terlambat.
Karena pada waktu inilah, mereka butuh teman. Meski kadang ada yang nyeletuk.
"Aku ini gak pengen curhat, tapi aku juga seneng kalau bisa bicara dengan Miss Hem"
Aku hanya tertawa. Akhirnya aku menjawab
"Ya, gak perlu curhat lah ke aku. Ngobrol biasa aja!", hehehehe ... (Ya, sama aja :))"
Aku sangat menikmati waktu bersama mereka. Alhamdulillah, Play Group, TK, SD, SMP, SMA ... Mereka sangatlah berbeda.
Hanya satu yang sama ketika mereka berhadapan dengan "guru".
Mereka anak-anak dan senang kalau didengarkan.
Love you all Guys! Kalian semua selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali ;-)
Jumat, 29 November 2013
Minggu, 24 November 2013
GURU Pengemban Amanah Jiwa, Bukan Sekedar Raga Tak Ber-Asa.
We Sing For You at NET.tv malam ini membuat saya tergetar.
Tema yang mereka hadirkan adalah GURU.
Mereka memberikan apresiasi kepada guru di Sekolah Alam Tunas Mulia. Sekolah anak-anak pemulung, dimana mereka harus dibujuk dan disadarkan agar merasa butuh dengan pendidikan.
Orang tua pemulung, tidak menginginkan anak-anak mereka kelak menjadi pemulung!
Acara didisain sangat bagus.
Menghadirkan tiga alumni yang sekarang sudah menikmati bangku kuliah di Universitas Jayabaya.
Para guru itu dibayar tanpa standar UMR, apalagi slip gaji tunjangan.
Yang membuatku bangga, karena tim kreatif mereka semua anak-anak muda.
Mereka adalah pribadi-pribadi yang belajar berterimakasih dan menghargai.
Kita jadi bisa, menulis dan membaca, karena siapa ....
Kita jadi tahu, beraneka bidang ilmu, dari siapa ...
Kita jadi pandai, dibimbing Pak Guru
Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru
Guru bak pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara ........
Bait lagu ini, terasa seperti cermin terbesar yang menghadirkan pertanyaan kepada saya.
Apakah benar saya sudah layak disebut guru?
Sudah yakinkah, bahwa jalan guru ini adalah jalan ibadah saya?
Dan, sudahkah saya berikan yang benar kepada murid-murid saya?
Guru tidak sekedar membacakan ulang informasi!
Guru tidak sekedar meminta murid melakukan tugas!
Guru tidak sekedar punya hak mengajari!
Guru tidak sekedar punya hak menghakimi!
Dan guru, bukan sekedar pribadi yang ikut test dan diterima di sebuah instansi pendidikan yang bertugas untuk menemani. Siapapun bisa menjadi guru. Dan menjadi pribadi yang DIGUGU dan DITIRU butuh mengamalkan ilmu.
Di Sekolah Alam Tunas Mulia, seorang kakak kelas yang sedang duduk di bangku SMA, ikhlas menjadi guru bagi adik-adik kelasnya. Ketika ia ditanya, mengapa ia mau memilih membimbing adik-adiknya, ia menjawab:
"Saya anak pemulung, dan saya ingin kami semua tidak jadi pemulung. Kami ingin menikmati belajar di jenjang yang lebih tinggi dan menggapai cita-cita kami"
Seorang guru ditanya, mengapa Ibu memilih menjadi guru di sini. Beliau menjawab:
"Mereka adalah anak-anak yang tidak sekedar butuh diajari. Kami juga memberi mereka KASIH SAYANG dan KETULUSAN MENDIDIK kepada mereka.
Saya terdiam, melihat kembali ke cermin terbesar. Dan jawabannya adalah,
"Aku belum punya kepribadian itu. Masih jauuuuuuh... "
Membayangkan diri mampu seperti cerita di syair lagu JASAMU GURU
Guru Bak PELITA, PENERANG dan gulita
Jasamu tiada tara ...
Presiden, tentara, dokter, pengacara, dan semua ... mereka pernah bersekolah.
Pertanyaan dua sisi mata pedang selalu hadir ....
Jika mereka mampu amanah, itu kebahagiaan tiara tara ...
Jika mereka berbalik arah? Siapakah yang salah?
Astaghfirullahal Adhim ...
Terima kasih kepada para orang tua wali murid yang percaya kepada kami para guru.
Anda semua juga lebih dari guru. Bahasa kalbu, bahasa cinta, bahasa kasih, bahasa sayang anda semua ...
Yang mampu menghadirkan kehangatan dan kecerdasan. Kearifan dan kebijaksanaan, kesholehan dan jalan lurus
Kami para guru akan menjadi teman dan saudara untuk bapak dan ibu
Untuk semua saudara, sahabat, teman seperjuangan dalam mengemban amanah GURU.
Mari bersyukur dan berbangga ... Bahwa kita bukan sekedar agen perubahan.
Kita adalah PELITA KEHIDUPAN
Mari tingkatkan kepribadian DIGUGU dan DITIRU
Mari saling BERLOMBA DALAM KEBAIKAN
Mari jadikan amanah adalah ibadah
Allah SWT Maha Kuasa atas Segala Sesuatu
Kita tidak akan pernah kekurangan
Kita tidak akan pernah terabaikan
Karena kita mengemban amanah belajar bersama JIWA
Bukan hanya raga tak berasa.
Kamis, 07 November 2013
STUDENT ORIENTATION GATE
The first time I was trusted to be the first grade
teacher, I needed to conquer the second to forth grade laboratory as well as
the middle school level. The biggest
preparation that I had to make was to prepare my own heart. I needed to empty my heart from all the pride
of my past experience as a teacher. I
knew that I was going to learn a lot about patience, understanding children’s
language to express their needs and desire, and dealing with problems through
their eyes.
Student orientation was the first gate to get to
know my new students. When I guided my new laboratory crew to line up in the
school yard, I saw a long-haired child, but this child was standing in the
boy’s line, so I approached the child from behind.
“Hey, girls should move to the girl’s line, okay?”
I said to this child.
But what happened was, he cried and screamed. I was confused, have I done anything wrong? I
thought. My partner came near me.
“This child is a boy,” he whispered.
“Excuse
me?” I couldn’t say a word because I was surprised and felt really guilty. I decided to come to him, hold him, and
apologize to him.
“I am
sorry, I didn’t know.” He still cried,
hmm … what am I going to do?
My partner tried to help, but we didn’t
succeed. Then a father came to approach us.
“Is
everything alright, teacher?” he asked.
“I am sorry, Sir, I didn’t know that he’s a boy.”
I replied
“Oh, it’s alright, Teacher, let me calm him down,
I’m his father.” I just nodded, the
father picked up the long-haired boy and went out of the line.
“Hmm … the father also has very long hair.”
Jumat, 01 November 2013
I DON’T WANT TO BE A TEACHER!
I dreamed
of becoming a Muslim lawyer. Because of
that, I chose to major in criminal law politics (Siyasah-Jinayah) at Institut Agama Islam Negeri.
But,
there were some things I could not help to resist. One, was when I joined in a Non-Governmental
Organization (NGO) specializing in education.
When I had an internship at District Court and Religious Court, I
started to rethink the choice I made.
Was a profession in law field really something that I wanted?
After
graduation, a friend informed me about a job vacancy as a teacher. Unconsciously, I went right ahead and
prepared all the documents needed and my friend helped to mail my application. The next story is going to be in the opening chapter
of this book.
Now, I
am a teacher. I have a dream to travel
the world as a teacher. It is wonderful
to be able to share experiences and culture with other teachers around the
world.
Living
in a family of teachers had probably charged me with incredible energy in
finally becoming a teacher. My father was a teacher, my mother taught in a
kindergarten in the village. Two of my
older siblings are teachers. One of my
younger siblings was also a teacher. It didn’t
come as a surprise, when I decided to become a teacher. It seemed that my youngest sister is going to
be a teacher too. Shocking, right? …
Luckily,
when I was in sixth semester of my university years I joined with HEF (Human
Education Foundation) that worked together with Plan International. This is the NGO I talked the about in the
early paragraph. The activities I had in
the organization had given me the knowledge on how to develop curriculum, make
handouts, plan learning methods, innovate and dare to step up to many challenges.
To this
day, I have had many chances to share experiences. Becoming an outbound
trainer, a key speaker at seminars and workshops, a speaker in radios, an
English trainer, as well as a trainer on leadership, all of those had provided
me with happiness.
I have
never dreamt of being a teacher. But
Allah SWT has trusted me to be one. I
enjoy this profession as the means for me to serve and worship Allah and to always
learn, learn to be more patient, more considerate and have more understanding
of children’s innocent souls.
I was destined to be a teacher, it was for myself and I
dedicate my worship and service to the Master of All Masters. Amin.
Kamis, 17 Oktober 2013
5 JAM BERSAMA MENGUBAH ENERGI!
Mendengar
kata LAPAS ANAK (Lembaga Pemasyarakatan Anak), dalam pikiranku saya terbayang
segala sesuatu yang cukup menegangkan. Ya, saya pernah berpikir ingin melihat
dari dekat kehidupan orang-orang yang berada dalam “penjara”. Dan, apa yang
saya bayangkan itu akhirnya saya alami. Inilah yang saya ketahui sebagai
jawaban atas setiap apa yang kita pikirkan, insyAllah akan terjadi, kebaikan
atau keburukan sekalipun.
Bagai
sebuah do’a, akan selalu terkabulkan. Namun, hanya Tuhan yang akan menentukan waktu
dan memberikannya di saat yang tepat J
Ketika
ditawari untuk bergabung dalam sebuah acara outbound untuk anak LAPAS Kelas IIA
di sebuah kabupaten di Jawa Timur, saya langsung menerima tawaran itu.
Bagaimana
tidak? Ini adalah salah satu dari puzzle pikiran saya. Selain itu, saya ingin
belajar merasakan energi jiwa-jiwa yang berada dalam lingkungan tersebut. Saya
yakin, akan ada banyak pelajaran yang bisa saya nikmati di sana.
Seminggu
sebelum acara dilaksanakan, saya ikut survei tempat dan melihat situasi-kondisi
di sana bersama tim. Hmmm, dari gedung dan lingkungan LAPAS tidak sama seperti
dalam bayangan saya sebelumnya. Saya harus berkata: “Ini tidak mirip LAPAS”.
Maklum, saya belum pernah sekalipun masuk lingkungan LAPAS.
Gedungnya
ramah, banyak tanaman dan taman kecil-kecil dilengkapi kolam ikan. Tidak ada
jeruji besi seperti yang saya lihat di TV. Jerujinya didisain seperti jendela
rumah dengan kaca di luarnya. Menurut keterangan Kepala LAPAS itu, ada ruang
khusus dengan jeruji yang sedikit lebih besar yang diperuntukkan pada kasus
khusus juga.
Beberapa
penghuni kamar berjeruji sederhana itu terlihat keluar. Mereka bermain tenes
meja, ada yang duduk di selasar untuk nonton film bersama. Saya mencoba
mengamati 2 anak yang sedang menyiapkan tenes meja untuk segera dimainkan.
Saya
berusaha menarik perhatian mereka, dengan memunguti beberapa helai pakaian yang
terjatuh karena angin. Mereka melihat saya dan saya berikan senyum ramah.
Reaksi yang mereka berikan adalah, sedikit menggangguk dan melanjutkan
aktivitas persiapan tenes meja.
Tubuh mereka
terlihat kekar tanpa kaos. Kondisi cuaca yang panas, sepertinya membuat mereka
tidak nyaman memakai kaos atau baju. Saya sedikit menangkap sorot mata tajam
namun tidak liar. Dari balik pagar yang sengaja tidak dibuka, saya berusaha
berkomunikasi.
“Hei,
kayaknya yang sebelah sana akan menang karena bantuan angin”. Saya mengatakan
kalimat itu sambil tersenyum.
Tanpa
jawaban, pemain di seberang memberi kesempatan lawan mainnya untuk pindah
tempat di posisinya sekarang.
Akhirnya
kami mulai berkeliling melihat area yang bisa kami gunakan untuk kegiatan
outdoor. Ketua LAPAS menemani dan
menjelaskan kepada kami tentang lokasi-lokasi tersebut. jumlah peserta yang
akan ikut kegiatan outdoor pada awalnya 80. Namun, ada kemungkinan 218 anak
penghuni sel akan ikut semua.
Hmmmmm…. Pikiran
saya semakin jauh mengembara.
Kami bertanya
tentang kasus-kasus yang membuat anak-anak itu berada di tempat ini. Beragam kasus
mulai dari yang kecil sampai besar; mencuri, pelecehan, imigran gelap, membawa
senjata tajam, narkotika, sampai pembunuhan.
Tuh kan …
pikiran saya semakin liar membayangkan pertemuan kami minggu depan!
Baiklah,
harus banyak persiapan yang kami lakukan. Secara pribadi, saya harus menyiapkan
diri dengan pikiran dan hati yang super positif. Istilah “super” positif
saya gunakan untuk memotivasi diri agar mampu menciptakan suasana damai dalam
diri saya sendiri. Intinya, saya cukup tegang! Hehehe ….
Setelah menikmati
aktivitas hari raya Idel Adha, akhirnya waktu yang ditentukan untuk bertemu
dengan penghuni LAPAS tiba. Kami menyiapkan alat-alat permainan dan beberapa
kebutuhan yang akan kami gunakan saat belajar bersama mereka.
Perjalanan
kami cukup lancar. Saya juga sudah mampu menurunkan gelombang tegang saya.
Ketika kami
tiba di tempat, kami belum diijinkan masuk karena sedang berlangsung upacara tanggal
17 setiap bulannya. Kami menunggu sejenak dan sedikit bercanda dan berkomitmen,
bahwa tidak ada kata apalagi kalimat yang berhubungan dengan keberadaan mereka
di LAPAS ini.
Kami masukkan
memori ke dalam otak kami, bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang memiliki hak sama
seperti anak-anak didik kami di sekolah.
Sipir sudah
memanggil kami dan membuka pintu kaca yang dipasang terali besi yang berbentuk
ketupat, sama seperti pintu rumah pada umumnya. Pintu ini selalu dalam keadaan
tergembok dengan seorang sipir yang selalu menjaganya.
Kami segera
masuk dan menaruh barang-barang kami. Sekitar 80 anak sudah menunggu di ruang
aula. Usia mereka minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun. Mereka hampir
serentak melihat kami yang memasuki ruang aula itu. Saya mendengar pengumuman
bahwa, anak yang hari ini memiliki jam belajar harus tetap masuk kelas. Hmmm …
itu berarti kegiatan hari ini akan diikuti maksimal 100 anak.
Mata-mata
tajam mereka langsung melihat kearah kami. Mereka hampir bisa saya katakana,
berusaha melihat kami dengan seksama. Saya menyapa mereka dengan senyuman,
mereka membalas dengan tatapan mata antara keheranan dan bertanya-tanya.
Ketua tim
sudah memulai acara, kami diperkenalkan satu per satu. Tim kami terdiri dari 5 orang
ustadz dan saya satu-satunya ustadzah dalam tim. Saat acara di luar
pembelajaran di sekolah, kami menggunakan panggilan Mas dan khusus saya
dipanggil Miss. Hehe … namun, akhirnya mereka memanggil kami kakak.
Pada awalnya,
berada dalam satu ruang aula bersama mereka membuat saya mampu merasakan energy
yang sangat berbeda. Ada penerimaan, penolakan, penantian, pertanyaan, dan
sekedar datang dan mengikuti tanpa peduli.
Ketika permainan
ice breaking sudah dimulai, mereka sudah mulai terlihat cair. Saya mencoba
mengamati lebih menyeluruh. Ada beberapa anak yang terlihat ada gangguan
mental, lengan bertato, kulit dengan bekas luka-luka, baju kumal, dan mungkin
ada juga beberapa yang malas mandi.
Ice breaking pertama membuat mereka mulai
menikmati dan tersenyum. Ice breaking kedua membuat mereka mulai
bergerak dan menunjukkan interaksi keseharian bersama teman. Ice breaking
ketiga sudah mulai membangun persepsi baru dalam otak mereka kepada kami. Mereka
mulai menikmati permainan dan secara tak terduga, sangat cepat membentuk
suasana yang kami inginkan. Luar biasa!!!
Saya merasa
diamati oleh seorang anak dengan seksama. Saya memutuskan untuk mendekatinya,
dia terlihat malu. Saya hanya menepuk pundaknya dan mengacungkan jempol padanya,
dia tersenyum.
Ketika saya
membantu mengatur kelompok dan menghitung jumlah anggota kelompok, ada beberapa
yang perkataannya kasar sekaligus reaksi tangannya juga cepat. Saya segera
mendekati mereka dan sekedar menepuk pundak dan berkata;
“Terima
kasih sudah bekerjasama”.
Akhirnya dia
hanya tersenyum dan menghentikan aksi tangan yang semula sangat mudah memukul
teman di depannya.
Saya harus
mengatakan ini,
“Anak-anak
adalah anak-anak dengan jiwa yang sama dengan anak-anak lain. Terlepas masalah
apapun yang membuat mereka menjadi berbeda. Jiwa mereka tetap haus dengan
sentuhan yang membimbing dan mempercayai bahwa mereka adalah anak-anak yang
baik”
Beberapa hal
yang membuat saya terperangah lagi, ketika mereka diminta membuat nama
kelompok. Tanpa diberi kata kunci apapun, yang muncul adalah nama-nama binatang.
Singa, Scorpio, Cobra, Kucing, Bebek, Monyet, Semut, dan Kambing hitam.
Akhirnya,
kami membahas satu persatu mengapa mereka memilih nama binatang tersebut.
Setelah dipancing
dengan beberapa kalimat “tantangan”, akhirnya mereka memunculkan
jawaban-jawaban:
Kami memilih Singa, karena kuat.
Kami memilih Scorpio, karena ganas.
Kami memilih Cobra, karena melilit
dan beracun.
Kami memilih Kucing, karena lincah
dan disini banyak.
Kami memilih bebek, karena berkumpul,
bersatu.
Kami memilih Monyet, karena monyet
itu cerdas.
Kami memilih Semut, karena maju
mundur bersama dan selalu saling menyapa.
Kami memilih Kambing hitam, karena
lempar batu sembunyi tangan. Nah, itu yang menyebabkan kami ada di sini!
Kalau kita
cermati, jawaban-jawaban tersebut lebih banyak yang positif kan? Meski ada
beberapa yang perlu dilanjutkan sebagai bahan diskusi dan diarahkan pada segala
pemikiran yang positif.
Sebelum kami
melanjutkan kegiatan outdoor di lapangan, kami tuntaskan pembahasan nama
kelompok dengan kesepakat semua mengarah kepada kebaikan. Dan Kambing hitam,
harus menunjukkan mampu merubah diri menjadi Kambing putih yang bisa menebarkan
manfaat untuk manusia dan lingkungannya.
Permainan outdoor
kami siapkan dengan 4 pos. Semangat mereka luar biasa, inisiatif kelompok untuk
memecahkan persoalan dan tantangan yang kami berikan sungguh luar biasa. Dalam
permainan Crocodile River, ada yang rela keluar dan rela menggendong
teman. Sungguh tak terprediksi suasana ini.
Sekali lagi,
anak-anak adalah anak-anak yang selalu membutuhkan dunia anak yang sesungguhnya.
Setlah semua
rangkaian acara tantangan selesai, kami mendengarkan motivasi dari seorang tokoh. Beliau menyampaikan:
“Setiap
orang berhak melakukan apa saja, namun untuk menjadi orang pilihan ya harus memberi
manfaat kepada sekitarnya”
Setelah ditanya,
apakah mereka ingin menjadi diri yang lebih baik? Hampir semua anak
berkeinginan untuk menjadi lebih baik. Semoga perhatian, penerimaan, dan
pendampingan kita mampu menjadi jalan bagi anak-anak ini untuk mampu menemukan
kebaikan dalam dirinya dan disebarkan kepada lingkungannya.
Acara ditutup
setelah anak-anak melakukan jama’ah sholat Dzuhur. Sebuah keajaiban terjadi,
setelah sholat, mereka membaca sholawat, dan melakukan takbiran hari ketiga
bersama. Kemudian salah satu dari mereka membaca surat Al-Muzzammil dengan
suara yang luar biasa merdu seperti Bapak Muammar ZA (Qari’ international).
Makharijul huruf
dan tajwid yang sempurna!
Ya Rabb,
Engkau pasti memberikan pelajaran terindah bagi kami semua.
Saya memang
tidak mendekati mereka secara mendalam, sekejap bertemu dan belajar bersama
mereka sudah menceritakan banyak hal. Mengapa mereka berada di tempat ini,
keinginan dan harapan, serta pengalaman mereka selama menjalani hidup di tempat
ini.
Setiap jiwa
yang menjalankan agama dengan baik, keluarga yang saling menyanyangi, pelajaran
yang saling memotivasi, dan lingkungan yang baik harus diciptakan bersama. Kesalahan
itu bisa dilakukan oleh siapa saja, terbuka menerima nasehat dan berteman
dengan orang yang tepat itu yang harus selalu kita motivasikan kepada anak-anak
seperti.
Ketika kami
diberi waktu untuk berbicara di forum, saya yang diminta teman tim untuk maju. Saya
sedikit bercerita tentang kenakalan saya di usia mereka. Kemudian saya
mengungkapkan beberapa cerita indah tentang efek kebaikan. Mata mereka terlihat
memancarkan harapan untuk menjalani hidup dengan lebih terhormat.
“Kalian
harus bersyukur berada di tempat ini, ada banyak kepedulian yang kalian
peroleh. Di luar sana, masih banyak
jiwa-jiwa yang melanglang buana dan kepedulian yang diberikan kepada mereka
pasti sangat berbeda dengan yang kalian terima di sini. Jika ada yang merasa
putusan pengadilan atas kalian tidak cukup adil, hidup harus tetap berlanjut! Karena
kitalah yang menentukan pilihan, maka pilihlah kebaikan insyAllah kalian akan
menjadi orang-orang sukses pada masa yang akan datang”
Akhirnya
mereka bertepuk tangan dan bersalaman dengan kami sebelum kembali ke ruang
mereka masing-masing. Yang sangat membahagiakan adalah wajah mereka yang penuh
dengan harapan baru. Semoga mereka istiqamah untuk berubah menjadi pribadi yang
lebih baik. Dan orang-orang yang memberikan kepeduliaan di tempat inipun
demikian.
Dalam perjalanan
pulang saya kembali berpikir tentang negeri ini. Di televisi banyak sekali
artis yang masuk bui, kemudian mereka dengan bangga kembali menunjukkan diri.
dan masyarakat juga menerima dengan begitu saja. Mereka kembali menikmati
kehidupan glamour selebriti.
Banyak juga
para pembesar di negeri ini yang masuk bui, menikmati fasilitas kelas tinggi,
mendapat remisi, dan kembali hidup tanpa menjalani hukuman yang berarti.
Mereka adalah
anak-anak yang terjerat hukum, ada juga beberapa yang memang memiliki keterbelakangan
mental, tanpa pengacara handal. Hanya pembela dari pemerintah yang gratis, itu
yang dikatakan mereka. Mereka hanya mampu menerima putusan tanpa banding. 5
tahun 4 bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk memberi kesempatan kepada
anak-anak ini menikmati jiwa anak-anak.
Baiklah,
kembali saya berharap kondisi di negeri ini tidak membuat saya apatis. Semoga setiap
jiwa saling menjaga dan menciptakan suasana di negeri yang besar ini. Dan para
pemimpin mampu mengemban amanah di negeri yang disebut GEMAH RIPAH LOH JINAWI.
Langganan:
Postingan (Atom)